Minggu, 01 Februari 2015

Makalah hukum Muamalah

Bab I
Pendahuluan
1.1   Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara ciptaan-NYA dan juga sebagai pemimpin dimuka bumi ini. Dari pengertian ini biasanya disalah artikan oleh manusia itu sendiri, dengan cara bertindak semaunya sendiri/seenaknya sendiri tanpa melihat apa ada yang dirugikan disekeliling mereka. Artinya hanya peduli dengan kepentingannya sendiri tanpa peduli pada kepentingan orang lain. Seperti contoh bermasyarakat khususnya dengan tetangga, jika kita menyalakan radio selayaknya sesuai aturan jangan sampai mengganggu tetangga kita, yang mana dari itu ketahuanlah bahwa kita punya rasa tenggang rasa atau tidak. Jadi secara tidak lain kita sebagai warga Negara yang baik harus taat pada aturan tertulis maupun yang tidak tertulis seperti aturan dalam masyarakat. Khususnya bagi umat muslim selain harus taat pada aturan-aturan tertulis maupun yang tidak tertulis, kita juga mempunyai aturan agama yang memang wajib kita laksanakan jika ingin benar-benar menjadi seorang muslim yang haqiqi yaitu fiqh.
Didalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya. Para ulama mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul syariat dan kaidah-kaidahnya.
Berangkat dari sini, sudah menjadi kewajiban setiap muslim dalam kehidupannya untuk mengenal dan mengamalkan hukum-hukum syariat terkait dengan amalan tersebut. Seperti yang akan ditulis oleh pemakalah yaitu tentang kaidah-kaidah fiqh bermuamalah yang bertujuan sebagai acuan/sandaran kita dalam hubungan kepentingan antar sesama manusia.

1.2   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahannya
adalah:
1.      Apa pengertian Mu’amalah?
2.      Bagaimana Transaksi Dalam Mu’amalah Islam?
3.      Bagaimana Kerja Sama Dalam Mu’amalah Islam?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui pengertian Mu’amalah
2.      Untuk Mengetahui Transaksi Dalam Mu’amalah Islam
3.      Untuk Mengetahui Kerja Sama Dalam Mu’amalah Islam













Bab II
Pembahasan
2.1  Mu’amalah
Muamalah berasal dari bahasa arab, dari kata  معاملة  bentuk masdar dari kata عامل – يعامل - معاملة yang mempunyai arti Saling bertindak, saling berbuat,  saling mengamalkan.[1]
Sedangkan pengertian muamalah secara istilah di bagi menjadi dua, yakni
a.         Pengertian secara luas
Muamalah merupakan Aturan-aturan Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan social.
Sedangkan menurut  Ibnu Abidin, arti muamalah secara luas di bagi menjadi 5 konteks bidang, antara lain:
1.      Mu’awadhah Maliyah (hukum kebendaan)
2.      Munakahat (Hukum perkawinan)
3.      Muhasanat (Hukum Acara)
4.      Amanat dan ‘Ariyah (Pinjaman)
5.       Tirkah (harta warisan)
Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya.
Menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
b.        Pengertian secara sempit
Muamalah merupakan aturan tentang kegiatan ekonomi manusia. Pada dasarnya, perbedaan dari pengertian muamalah secara luas maupun secara sempit terletak pada cangkupannya, pengertian luas mencangkup munakahat, politik, warisan, dan pidana. Sedangkan dalam pengertian sempit cangkupannya hanya tentang ekonomi.
Dari berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.
2.2 Transaksi Dalam Mu’amalah Islam
Secara sederhana transaksi diartikan peralihan hak dan pemilikan dari satu tangan ke tangan lain. Ini merupakan satu cara dalam memperoleh harta disamping mendapatkan sendiri sebelum menjadi milik seseorang dan ini merupakan cara yang paling lazim dalam mendapatkan hak. Transaksi itu secara umum dalam al-Quran diartikan dengan tijarah.
Adapun cara berlangsungnya tijarah tersebut yang sesuai dengan kehendak Allah adalah menurut prinsip suka sama suka, terbuka dan bebas dari unsur penipuan untuk mendapatkan sesuatu yang ada manfaatnya dalam pergaulan hidup di dunia. Prinsip tersebut di ambil dari petunjuk umum yang disebutkan dalam al-Quran dan pedoman yang diberikan dalam sunnah Nabi.
Adanya prinsip pokok suka sama suka (تراضي) ditemukan secara gamblang dalam surat an-Nisa’ ayat 29 :
يَٓا اَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّا اَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوٓا أَنْفُسَكُمْ ۗ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi kriteria suatu transaksi yang hak dan sah adalah adanya unsur suka sama suka di dalamnya. Segala bentuk transaksi yang tidak terdapat padanya unsur suka sama suka, maka transaksi itu adalah batil, yang berarti memakan harta orang lain secara tidak sah.
Adapun bentuk-bentuk transaksi dalam muamalah Islam secara garis besar dipisah menjadi dua yaitu:
1.    Berlangsung dengan sendirinya tanpa adanya kehendak dari pihak-pihak yang terlibat, yang disebut ijbari. Peralihan hak dalam bentuk ini hanya terdapat dalam kewarisan; dalam arti harta pewaris beralih kepada ahli waris sesuai dengan jumlah yang ditentukan pada saat terjadinya kematian, tanpa memerlukan keinginan dan kehendak dari pewaris dan tidak memerlukan penerimaan dan kerelaan dari ahli waris yang menerima.
2.    Peralihan secara ikhtiyari dalam arti peralihan hak kepada orang lain berlaku atas kehendak dari salah satu atau kedua belah pihak. Peralihan hak atas kehendak satu pihak mengandung arti bahwa peralihan hak itu tidak diimbangi oleh pihak lain oleh karenanya peralihan tersebut tidak memerlukan suatu perjanjian atau akad.
A.      Jual-beli ( البيع )
Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak.[2] Hukum melakukan jual beli adalah boleh (جواز).
Para Ulama memberikan definisi yang berbeda-beda.
1.      Di kalangan Ulama Hanafi terdapat dua pengertian: yang pertama, saling tukar menukar harta dengan harta melalui cara tertentu. Yang kedua tukar menukar sesuatu yang diingini dengan sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
2.      Ulama Madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali memberikan pengertian, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Definisi ini menekankan pada aspek milik pemilikan, untuk membedakan dengan tukar menukar harta/barang yang tidak mempunyai akibat milik kepemilikan, seperti sewa menyewa. Demikian juga, harta yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas, bisa barang dan bisa uang.
Dasar Hukum
Orang yang terjun dalam bidang usaha jual beli harus mengetahui hukum jual beli agar dalam jual beli tersebut tidak ada yang dirugikan, baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli. Jual beli hukumnya mubah.
Jual beli disyariatkan dalam al-Quran, sunnah dan ijma’ para umat (Ulama).
1.        Al-Quran
Dalam surat al-Baqarah ayat 275 disebutkan:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.




Dalam ayat lain dijelaskan
Surat al-Baqarah ayat 198 :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِن رَبِكُمْۗ فَإِذَٓاَفَضْتُم مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدٰاكُمْۚ وَإِن كُنتُم مِن قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّآلِّينَ.
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu. dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”.
2.        As-Sunah
sabda Rasulullah saw:
 أَفْضَلُ الْكَسْبِ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Artinya: “Sebaik-baik penghasilan (profesi) adalah usaha seseorang dengan tangannya tangannya sendiri dan setiap jual beli yang diterima oleh Allah”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Syu’bul Imân Juz 2 Hlm. 434).
3.        Ijma’
Para ulama sepakat bahwa jual beli disyariatkan.  Alasannya karena manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya tersebut harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. (Mausu'ah Al Fiqhiyah Quwaitiyah jilid: 9 hal: 8)
Adapun hikmah dibolehkannya jual-beli itu adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan hartanya,  namun dia tidak memerlukannya. seseorang memiliki harta di tangannya, namun dia tidak memerlukannya. Sebaliknya dia memerlukan suatu bentuk harta, namun harta yang diperlukannya itu ada di tangan orang lain. Kalau seandainya orang lain yang memiliki harta yang diingininya itu juga memerlukan harta yang ada di tangannya yang tidak di perlukannya itu, maka dapat berlaku usaha tukar menukar yang dalam istilah berbahasa Arab disebut jual-beli. Namun karena apa yang diperlukan seseorang belum sama dengan apa yang diperlukan orang lain, tentu tidak dapat dilakukan cara tukar menukar itu. Untuk itu digunakan alat tukar yang resmi dan selanjutnya berlangsunglah jual-beli dalam arti sebenarnya. Seandainya jual-beli itu tidak disyari’atkan, manusia akan mengalami kesukaran dalam kehidupannya.[3]
Rukun dan Syarat Jual Beli
Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun masing-masing rukun memiliki syarat yaitu[4]:
1.         Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli) haruslah seorang yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).
Seorang budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali atas izin dari tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya adalah milik tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli mensyaratkan juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah jual-belinya, berdasarkan firman Allah:
وَابْتَلُوا الْيَتَامٰى حَتَّٓى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’: 6).
2.        Al-‘Aqdu (transaksi/ijab-qabul) dari penjual dan pembeli.
Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau saya beli”.
Di dalam hal ini ada dua pendapat:
a.       Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli, maka tidak sah jual-beli yang dilakukan tanpa mengucapkan lafaz “saya jual… dan saya beli…”.
b.      Tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli. Bahkan imam Nawawi -pemuka ulama dalam mazhab Syafi’i- melemahkan pendapat pertama dan memilih pendapat yang tidak mensyaratkan ijab-qabul dalam aqad jual beli yang merupakan mazhab maliki dan hanbali.
Dalil pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat An-Nisa’ hanya mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan pembeli sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui dengan adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada riwayat dari nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan lafaz tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan.
3.        Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang ).
Al-Ma’qud ‘Alaihi memiliki beberapa syarat:
1)      Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ                                         
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai berikut: Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai, babi, anjing dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ                           
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan ialah Kaset atau VCD musik dan porno. Maka uang hasil keuntungan menjual barang ini tidak halal dan tentunya tidak berkah, karena musik telah diharamkan Allah dan rasul-Nya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ                      
“Akan ada diantara umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR. Bukhari no.5590)
2)      Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ                                                                                 
“jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR. Abu Daud)
3)      Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli, maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di udara atau ikan di kolam yang belum di tangkap, hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya yang kabur”. (HR.Ahmad)
4)      Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli dan penjual.
Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau mendengar penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka dan selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-beli akan mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai contoh padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk jual-beli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. Karena nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim)
Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara menanyakan langsung kepada si penjual atau dengan melihat harga yang tertera pada barang, kecuali bila harga yang ditulis pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar (penipuan).
Syarat Sah Jual Beli
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat ini terbagi dalam dua jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan syarat yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan:
1.      Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.
2.      Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu sebagai berikut:
·         Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
·         Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pembayarannya, agar tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing dalam karung’ karena hal tersebut dilarang.
·         Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah menjual barang untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.
Beberapa bentuk transaksi jual-beli yang tidak Islami
Transaksi dikatakan tidak Islami bila tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam fiqh dan terdapat pula larangan Nabi padanya dan oleh karenanya hukumnya haram. Praktek transaksi ini biasanya telah berlangsung dkalangan orang Arab sebelum Islam masuk. Di antaranya adalah sebagai berikut :
1.        Jual-beli gharar ( الغرر )
Jual-beli gharar adalah jual-beli ang mengandung unsur-unsur penipuan dan pengkhianatan, baik karena ketidak jelasan dalam objek jual-beli atau ketidakpastian dalam cara pelaksanaannya. Hukum jual beli ini adalah haram. Dasar haramnya adalah hadist Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Nabi Muhammad SAW. melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”
Alasan haramnya adalah  tidak pasti dalam objek, baik barang atau uang atau cara transaksinya itu sendiri. Karena larangan dalam hal ini langsumg menyentuh essensi jual belinya. Maka disamping haram hukumnya transaksi itu tidak sah.
2.        Jual-beli mulaqih ( الملا قيح )
 Jual beli mulaqih , yaitu jual beli barang yang menjadi objeknya hewan yang masih berada dalam bibit jantan sebelum bersetubuh dengan betina. seperti mengawinkan seekor domba jantan dan betina agar dapat memperoleh keturunan, jual beli seperti ini haram hukumnya karena mengandung unsur kesamaaran didalamnya. Rasulullah saw. Bersabda :
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ قَلَ نَهَى رَسُوْلُ اللّٰهُ ص م عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ ( رواہ  البخارى )
“ Dari Ibnu Umar r.a, berkata Rasulullah telah melarang menjual mani binatang” (H.R Bukhari)
Alasan pelarangan di si adalah apa yag diperjual belikan tidak berada di tempat akad dan tidak dapat pula dijelaskan kualitas dan kuantitasnya. Ketidak jelasan ini menimbulkan ketidak relaan pihak-pihak. Yang menjadi larangan di sini adalah essensi jual-beli itu sendiri, maka hukumnya adalah tidak sahnya jual-beli tersebut.
3.        Jual-beli mudhamin ( المضا مىن )
Jual beli mudhamin adalah transaksi jual beli yang objeknya adalah hewan  yang masih berada dalam perut induknya. Jual beli seperti ini haram hukumnya karena objek jual beli belum ada dan tidak tampak.
4.        Jual-beli hushah ( الحصاة ) atau lemparan batu
Jual beli hushah itu diartikan dengan beberapa arti. Di antaranya jual-beli sesuatu barang yang terkena oleh lemparan batu yang disediakan dengan harga tertentu. Arti lain adalah jual-beli tanah dengan harga yang sudah ditentukan, yag luasnya sejauh yang dapat dikenai oleh batu yang dilemparkan. Hukum jual-beli sepertti ini adalah haram. Dasar haramnya jual-beli ini adalah hadis Nabi yang melarang jual beli gharar yang disebutkan diatas. Karena larangan di sini mengenai essensi jual-beli itu sendiri, maka jual-beli ini tidak sah.
5.        Jual-beli muhaqalah ( الحا قلة )
Jual beli muhaqalah yaitu jual beli buah-buahan yang masih berada di tangkainya dan belum laya untuk dimakan. Hukum jual-beli ini adalah haram. Dasar haramnya jual-beli ini adalah hadist Nabi yang berasal dari Jabir bin Abdullah meurut lima perawi hadist selain Ibnu Majah dan disahkan oleh al-Tirmizi yang bunyinya:
أن النبى صلى الله عليه و سلم نهى عن ا لحا قلة و  المنا بذة و المخابر ة و عي الشنيا
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. Melarang jual-beli muhaqalah, muzabanah, mukhabarah dan tsunaiya”.
6.        Jual-beli muzabanah
Jual-beli muzabanah adalah dengan mempertukarkan kurma yang masih basah dengan yang sudah kering dan mempertukarkan anggur yang masih basah dengan yang sudah kering dengan menggunakan alat ukur takaran.
Ibnu majah jilid 2 No. Hadist : 22658
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ ، أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ عَنِ الْمُزَابَنَةِ.
وَالْمُزَابَنَةُ : أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ ثَمَرَ حَائِطِهِ إِنْ كَانَتْ نَخْلاً ، بِتَمْرٍ كَيْلاً ، وَإِنْ كَانَتْ كَرْمًا ، أَنْ يَبِيعَهُ بِزَبِيبٍ كَيْلاً ، وَإِنْ كَانَتْ زَرْعًا , أَنْ يَبِيعَهُ بِكَيْلِ طَعَامٍ ، نَهَى عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ.
Abdillah berkata Rasullulloh melarang jual beli dengan cara muzabanah yaitu bila seorang rojul menjual pada kurma basah (kurma yang masih dipohon) dijual dengan kurma kering (kurma yang sudah matang). Dan bila ada anggur basah dijual dengan anggur kering. Dan bila ada gogo (sejenis padi-padian) dijual dengan makanan. Nabi melarang dari demikian itu semua.
7.        Jual-beli mukhabarah ( المخابر ة )
Jual-beli mukhabarah adalah muamalah dalam penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang akan dihasilkan oleh tanah tersebut. Hukum transaksi ini adalah haram. Dasar hukum haramnya adalah hadist Nabi yang disebutkan di atas (no. 5).
8.        Jual-beli tsunayya ( الثنيا )
Yaitu transaksi jual-beli dengan harga tertentu, sedangkan barang yang jadi objek jual-beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian yang tidak jelas. Hukum jual-beli bentuk ini adalah haram; sedangkan dasar hukum haramnya adalah hadist Nabi yang dikutipp di atas (No. 5)

9.      Jual-beli ‘asb al-fahl ( عسب الفحل )
Yaitu memperjual-belikan bibit pejantan hewan untuk dibiakkan dalam rahim hewan betina untuk mendapatkan anak. Kadang-kadang disebut juga sewa pejantan. Hukum transaksi seperti ini adalah haram. Dasar haramnya adalah hadist Nabi dari Ibnu Umar menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan :
نهى رسول الله عليه و سلم عن عسب الفحل
Nabi Muhammad SAW. Melarang menjual bibit pejantan.
Alasan pelarangan di sini adalah tidak jelasnya objek transaksi, karena sukar ditentukan seberapa banyak bibit yang disalurkan ke rahim betina. Jual-beli dalam bentuk ini tidak sah. Sebagian ulama melihatnya dari segi lain yaitu kebutuhan umum akan transaksi seperti ini bagi pengembang biakan ternak. Oleh karena itu memasukkannya kepada bisnis sewa pembiakan ternak.
10.    Jual-beli mulamasah ( الملا مسة )
Jual beli mulamasah  yaitu jual beli secara sentuh menyentuh. Misalkan seseorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya diwaktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh kain tersebut telah membelinya. Jual beli yang seperti ini haram hukumnya karena mengandung tipuan dan kemungkinan menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.

Hadits Bukhari 2001

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نُهِيَ عَنْ لِبْسَتَيْنِ أَنْ يَحْتَبِيَ الرَّجُلُ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ثُمَّ يَرْفَعَهُ عَلَى مَنْكِبِهِ وَعَنْ بَيْعَتَيْنِ اللِّمَاسِ وَالنِّبَاذِ
Kami dilarang dari libsatain yaitu seseorang berselimut dengan orang lain dalam satu kain lalu mengangkat kain tersebut sampai pundaknya & juga melarang mulamasah & munabadzah. (HR. Bukhari No.2001).


11.    Jual-beli munabazah ( المنابذة )
Jual beli munabazah suatu bentuk transaksi yang masing-masing pihak melemparkan apa yang ada padanya ke pihak lain tanpa mengetahui kualitas dan kuantitas dari objek yang dijadikan sasaran jual-beli itu. Bentuk jual beli ini haram. Alasan haramnya jual beli ini adalah ketidak jelasan objek yang diperjual-belikan yang akan membawa kepada ketidakrelaan yang menjadi salah satu syarat jual beli. Dengan demikian hukumnya tidak sah.

Hadits Malik 1176

حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ وَعَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ قَالَ مَالِك وَالْمُلَامَسَةُ أَنْ يَلْمِسَ الرَّجُلُ الثَّوْبَ وَلَا يَنْشُرُهُ وَلَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهِ أَوْ يَبْتَاعَهُ لَيْلًا وَلَا يَعْلَمُ مَا فِيهِ وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ يَنْبِذَ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ ثَوْبَهُ وَيَنْبِذَ الْآخَرُ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ عَلَى غَيْرِ تَأَمُّلٍ مِنْهُمَا وَيَقُولُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا هَذَا بِهَذَا فَهَذَا الَّذِي نُهِيَ عَنْهُ مِنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ
melarang jual beli dengan cara mulamasah & munabadzah. Malik berkata; Mulamasah ialah seseorang menyentuh pakaian, tak membentangkannya, tak memperjelas apa yg ada dalam pakaian itu, atau membelinya pada malam hari, hingga dia tak tahu bagaimana pakaian itu. Sedangkan munabadzah yaitu seseorang melemparkan bajunya kepada orang lain, & orang lain juga melemparkan bajunya kepadanya tanpa pertimbangan sama sekali dari keduanya, & setiap mereka mengatakan; 'ini dijual dgn ini'. Mulamasah & munabadzah dgn cara inilah yg dilarang. (HR. Malik No.1176).
Hadis riwayat Zaid bin Tsabit ra.:
Bahwa Rasulullah saw. memberi keringanan kepada pemilik kurma basah untuk menjualnya dengan cara ditaksir dengan kurma kering. (Shahih Muslim No.2838)

Hadis riwayat Sahal bin Abu Hatsmah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. melarang penjualan kurma basah dengan kurma kering, beliau bersabda: Demikian itu adalah riba yang ada dalam muzabanah, hanya saja beliau memberi keringanan dalam penjualan secara Ariah, yaitu satu atas.u dua buah pohon kurma diambil oleh suatu keluarga dengan cara ditaksir dengan kurma kering lalu mereka makan buahnya yang masih setengah matang. (Shahih Muslim No.2842)
12.    Jual-beli ‘urban ( العر بان )
Jual beli ‘urban adalah jual beli atas suatu barang dengan harga tertentu, dimana pembeli memberikan uang muka dengan catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar dengan harga yang telah disepakati, namun kalau tidak jadi, uang muka untuk penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu.

Hadits ibnumajah 2183

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ قَالَ بَلَغَنِي عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
melarang jual beli dengan sistem 'Urban (membeli dengan cara panjer, jika gagal uang tak kembali). (HR. ibnumajah No.2183).
Hadist Nabi dari Amru bin Syu’eb menurut riwayat Malik mengatakan:
نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اَلْعُرْبَانِ
Sesungguhnya Rasul Allah SAW. Melarang jual-beli ‘urban
13.    Jual-beli talqi rukban ( تلقى الر كبان )
Jual beli talqi rukban (الركبان) Adalah jual beli setelah pembeli datang menyongsong penjual sebelum ia sampai di pasar dan mengetahui harga pasaran.
قا ل رسول الله عليه و سلم :لا تلقوا الر كبان ولا يبيع حاضر لباد
Rasul Allah SAW. Bersabda: “janganlah kamu menyongsong penjual dan jangan pula orang kota membeli dari orang dari pedesaan”.
14.    Jual-beli orang kota dengan orang desa ( بيع حاضرلباد )
Yang dimaksud disini adalah orang kota yang sudah tahu harga pasaran menjual barangnya pada orang desa yang baru datang dan belum mengetahui harga pasaran. Larangan tentang jual-beli bentuk ini adalah sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas (no. 13).
15.    Jual-beli musharrah ( المصرة )
Musharrah adalah nama hewan ternak yang diikat puting susunya sehingga kelihatan susunya banyak, hal ini dilakukan agar harganya lebih tinggi.
Jual-beli dalam bentuk dan cara ini dilarang oleh Nabi dengan hadistnya dari Abu Hurairah menurut riwayat yang muttafaq’alaih sabdanya:
لا تصروا الإبل و الغنم فمن ابتاعها فهو بخير النظرين بعد أن يحلبها  إن شء أمسك و إن شاء ردها و صاعامن تبر
Janganlah kamu mengikat susu unta  atau kambing. Siapa yang membelinya, dia boleh memilih sesudah diperahnya. Bila dia suka bleh dia mengambilnya dan bila tidak mau, harus dikembalikan berikut satu sha’ kurma.
Hadits ibnumajah 2230
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ ابْتَاعَ مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ رَدَّهَا رَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ لَا سَمْرَاءَ يَعْنِي الْحِنْطَةَ
Barang siapa membeli Musharrah, maka ia punya hak pilih selama tiga hari. Jika ingin mengembalikan, hendaklah ia kembalikan dengan menyertakan satu sha' kurma & bukan samra, yakni gandum. [HR. ibnumajah No.2230].



16.    Jual-beli shubrah ( الصبرة )
Jual beli shubrah adalah jual beli barang yang ditumpuk yang mana bagian luar terlihat lebih baik dari bagian dalam. Larangan jual-beli dalam bentuk ini berdasarkan kepada hadist Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة من طعام فأ د خل يده فيها فنالت أصابعه بللا فقال ما هذا
يا صاحب الطعام ؟ قال أصابته السماء يارسوالله، قال:أفلا جعلته فو ق الطعام كى ير اه النس، من غش فليس مني
Sesungguhnya Rasul Allah SAW. Pernah lalu dekat setumpukan makanan, lalu dimasukannya tangannya ke dalam tumpukan tersebut. Ditemukannya di dalam basah. Beliau berkata: “Ada apa ini hai penjual makanan?” Penjual berkata: “Itu dikenai hujan ya Rasul Allah” Nabi berkata: “kenapa yang basah itu tidak kamu letakkan di atas supaya dilihat oleh pembeli?, siapa yang menipu tidaklah termasuk umatku”.
17.    Jual-beli najasy ( النجش )
Jual beli najasy jual beli yang bersifat pura-pura dimana si pembeli menaikkan harga barang , bukan untuk membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lainnya agar membeli dengan harga yang tinggi.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ نَهَى النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ النَّجْشِ
Dari Ibnu Umar, Nabi melarang jual beli najasy [HR Bukhari dan Muslim].
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. melarang sistem penjualan najasy (meninggikan harga untuk menipu). (Shahih Muslim No.2792)
Hadits Nasai 4429
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ النَّجْشِ
melarang dari menawar barang untuk mengecoh pembeli yg lain. [HR. Nasai No.4429].
Beberapa Jual Beli yang Sah, Tetapi DiLarang
Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa cara saja sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebab timbulnya larangan adalah:
1.        Menyakiti si penjual, pembeli, atau orang lain
2.        Menyempitkan gerakan pasaran
3.        Merusak ketenteraman umum.
Lalu, apa sajakah jual-beli yang sah tapi dilarang itu?
1.        Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan dia tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu. Dalam hadits diterangkan bahwa jual beli yang demikian itu dilarang. 
2.        Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar. Apa itu khiyar? Khiyar artinya "boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli)". Diadakan oleh syara' agar kedua orang yang berjual beli dapat memiliki kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu. 

Sabda Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam: Dari Abu Hurairah, "Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, 'Janganlah di antara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain." (Sepakat ahli hadits).
3.        Mencegat orang-orang yang datang dari desa di luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar.
Sabda Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam:
Dari Ibnu Abbas, "Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jangan kamu mencegat orang-orang yang akan ke pasar di jalan sebelum mereka sampai di pasar." (Sepakat ahli hadits)
Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang, dan mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai ke pasar.
4.        Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak ketenteraman umum.
Sabda Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam:

"Tidak ada orang yang menahan barang kecuali orang yang durhaka (salah)". (Riwayat Muslim).
5.        Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang membelinya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah:2)
6.        Jual beli yang disertai tipuan. Berarti dalam urusan jual beli itu ada tipuan, baik dari pihak pembeli maupun dari penjual, pada barang dagangan ataupun ukuran dan timbangannya.
Dari Abu Hurairah, "Bahwasanya Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam pernah melalui suatu onggokan makanan yang bakal dijual, lantas beliau memasukkan tangan beliau ke dalam onggokan itu, tiba-tiba di dalamnya jari beliau meraba yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya berkata,"Apakah ini?" Jawab yang punya makanan,"Basah karena hujan, ya Rasulullah." Beliau bersabda,"Mengapa tidak engkau taruh di bagian atas supaya dapat dilihat orang? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan umatku." (Riwayat Muslim).
Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa menipu itu harga, berdosa besar. Semua ulama sepakat bahwa perbuatan itu sangat tercela dalam agama, menurut akal pun tercela.
Jual beli tersebut dipandang sah, sedangkan hukumnya haram karena kaidah ulama fiqih berikut ini: Apabila larangan dalam urusan muamalat itu karena hal yang diluar urusan muamalat, larangan itu tidak menghalangi sahnya akad.
Beberapa Jual Beli yang Terlarang
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ , فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10). Perintah meninggalkan jual beli dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual beli setelah dikumandangkannya azan Jum’at.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa larangan jual beli ketika azan Jum’at berarti haram. Demikian pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Kapan Dimulai Larangan Jual Beli?
Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, larangan dimulai saat azan. Namun azan yang dimaksud apakah azan yang pertama ataukah kedua? Di sini ada beda pendapat.
Perlu diketahui bahwa adzan kedua sebelum shalat Jum’at adalah adzan yang diterapkan oleh khulafaur rosyidin. Sehingga tidak perlu diingkari. Demikian nasehat guru kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah. Azan pertama di hari Jum’at ini ditambahkan di masa ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, salah seorang khulafaur rosyidin. Terdapat dalam hadits As Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ ” قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
Dahulu azan pada hari Jum’at dilakukan di awal ketika imam di mimbar. Ini dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Namun di masa ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu karena saking banyaknya jama’ah, beliau menambahkan azan sampai tiga kali di Zawro’.” Abu ‘Abdillah berkata, “Zawro’ adalah salah satu tempat di pasar di Madinah.” (HR. Bukhari no. 912).
Yang dimaksudkan azan sampai tiga kali di sini adalah karena di saat shalat Jum’at ada tiga kali azan. Azan pertama yang ditambahkan di masa ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu. Azan kedua adalah azan ketika khutbah. Azan ketiga adalah ketika iqomah. Iqomah disebut pula azan sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin Mughoffal Al Muzani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ
Di antara dua azan terdapat shalat (sunnah)” (HR. Bukhari no. 624 dan Muslim no. 838).
Jumhur ulama berpendapat bahwa azan mulai terlarangnya jual beli adalah azan kedua. Karena di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya ada sekali azan, yaitu saat imam duduk di mimbar. Adzan kedua inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah pada surat Jumu’ah di atas. Jika jual beli dilakukan pada saat azan kedua ini akan melalaikan para pembeli dan pedagang dari shalat, bahkan bisa sampai luput seluruh atau sebagiannya.
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (2: 145) berkata, “Azan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah azan setelah imam duduk di mimbar. Maka hukum dikaitkan dengan azan kedua tersebut, sama saja apakah azan tersebut sebelum atau sesudah zawal (matahari tergelincir ke barat).”
2.        Jual beli di lingkungan masjid
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ
“Bila engkau mendapatkan orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya: ‘Semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. Tirmidzi, no. 1321. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dahulu, Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di dalam masjid, beliau menghardiknya dengan berkata, “Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia, sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa’, 2: 244, no. 601)
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan melanggar batasan Allah” (QS. Al Maidah: 2)
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ حَتَّى يَبِيعَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ
Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia berhak masuk neraka di atas pandangannya” (HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Hal- hal yang membatalkan jual beli
Apabila seorang menjual budak dengan syarat dimerdekakan, jual belinya sah. Demikian menurut maliki , syafi'i dan hambali. Adapun menurut hanafi yang termansyuh tidak sah.
Para imam madhab sepakat bahwa menjual seorang budak dengan syarat wala' ( menerima pusaka karena memerdekakan budak yang dimiliki atau sebab sumpah setia  ) tetapi di pengang oleh penjualnya hukumnya tidak sah. Apabila seseorang menjual sesuatu dengan suatu syarat yang dapat merusak atau bertentangan dengan tujuan jual beli, seperti membeli kain dengan syarat di jaitkan atau membeli rumah dengan syarat jangan di diami oleh pembelinya,maka penjualan seperti itu tidak sah. Demikian menurur hanafi dan syafi'i.
Menerima sesuatu yang dibeli dengan penjualan yang tidak sah tidak mengalihkan hak pemeliknya benda yang di beli bagi pembeli. Demikian menurut maliki, syafii dan hambali. Hanafi  berpendapat : pabila oleh pembeli, dengan izin penjual, di tentukan harganya yang pantas, sudah tentu pembeli memilikinya sengan menerima menurut harganya. Kemudian penjual boleh mengambil kembali benda yang telah di jual itu dengan mengambil faedah- faedah yang di peroleh darinya, lecuali jika benda tersebut telah digunakan oleh pembeli dengan cara yang tidak memungkinkan lagi di kembalikan. Jika demikian, penjual mengambil harganya.
Perselisihan dalam Jual Beli dan Kerusakan Barang
Apabila terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli dalam masalah harga, dan keduanya mempunyai bukti atas pengakuan masing-masing, hendaknya, mereka bersumpah. Demikian menurut pendapat para imam madhab. Orang yang di sumpah pertama kali adalah penjual. Demikian menurut pendapat yang paling sahih dalam madhab syafii . Sedangkan menutut hanafi, hendaknya yang pertama di sumpah adalah pembeli.
Apabila barang yang di beli sudah rusak, lalu terjadi perseliaihan soal harganya, keduanya di sumpah. Demikian menurut syafii . Kemudian, jual beli nya di batalkan. Jika barang tersebut bisa di jual, hendaknya di bayar menurut harganya. Adapun jika barang tetsebut ada pada penjual, hendaknya di berikan bandingannya itu oleh pembeli. Demikian juga menutur salah satu riwayat hambali dan maliki. Sedangkan pendapat hanafi, jika barang sudah rusak, tidak perlu di sumpah, dan perkataan atau pengakuaan yang di benarkan adalah pengakuan pembeli.
Jika yang di jadikan pwrseliaihan adalah masalah syarat penangguhan pembayaran atau jangka waktunya, atau masalah syarata khiyar atau jangka waktunya , keduanya di sumpah. Demikian menurut syafii dan maliki. Sedangkan pendapat hanafi dan hambali : tidak ada sumpah dalam syarat-syarat ini, dan pengakuan yang di terima adalah pengakuan meniadakan.
Apabila seseorang menjual sesuatu barang dengan harga yang berada dalam tanggung jawab pembeli, lalu mereka berselisih, kemudian penjual berkata " aku tidak akan menyerahkan barang ini sebelum aku terima bayarannya", pembeli mengatakan " aku belum mau membayar harga sebelum menerima barang", maka dalam hal ini syafii memiliki beberapa pendapat , dan pendapat yang paling sahih adalah penjual di paksa untuk menyerahkan barang dan pembeli di paksa untuk membayar harganya.

B.       Riba ( الر ب )
Menurut bahasa riba berarti tambahan (al-ziyadah) sedangkan menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok sebagai syarat terjadinya suatu taransaksi. Sedangkan menurut Al Jurjani merumuskan riba sebagai kelebihan / tambahan pembayaran tanpa ada ganti / imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).
Beberapa ahli memberikan pengertian riba seperti sebagai berikut:
1.         Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-Arabi al-Maliki, dalam kita Ahkam al-Qur'an, memberikan pengertian riba, yaitu secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam al-Qur'an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu 'iwad (penyeimbang/pengganti) yang dibenarkan syariah.
2.         Badr ad-Dien al-Ayni, dalam kita Umdatul Qari, menjelaskan bahwa prinsip utama riba adalah penambahan. Menurut syariah, pengertian riba adalah penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.
3.         Imam Sarakhsi, dalam kitab al-Mabsul, memberikan pengertian riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya 'iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
“ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Adapun  dalil yang terkait dengan perbuatan riba, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di antara ayat tentang riba adalah sebagai berikut: 
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ ٱلرِّبَوٰٓا۟ أَضْعَٰفًۭا مُّضَٰعَفَةًۭ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Ali Imran : 130).
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 275-279:
 
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌۭ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. (QS AL-Baqarah: 275).
يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS Al-Baqarah : 276).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS Al-Baqarah : 278).
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. QS Al-Baqarah : 279.
وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًۭا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟ عِندَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍۢ تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Rum : 39).
Dan di antara hadits yang terkait dengan riba adalah :
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : آكِلَ الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَكَاتِبَهُ ، وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya. HR. Muslim.
Hadis Nabi Muhammad SAW. Bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat zina”.
Macam-macam Riba
1.        Riba Fadl (Jual Beli)
Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran barang ribawi yang sejenis, namun berbeda kadar atau takarannya. Contoh: 20 kg beras kualitas bagus, ditukar dengan 30 kg beras kualitas menengah.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ بِلاَلٌ إِلَى النَّبِيِّ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ هَذَا قَالَ بِلاَلٌ كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِنُطْعِمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا عَيْنُ الرِّبَا لاَتَفْعَلْ وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ فَبِعِ التَّمْرَ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ اشْتَرِهِ*رواه البخاري كتاب البيوع
Dari Abu Sa’id, ia berkata:” Datang Bilal ke Nabi saw dengan membawa kurma barni (kurma kualitas bagus) dan beliau bertanya kepadanya: ”Darimana engkau mendapatkannya? ”Bilal menjawab: ”Saya mempunyai kurma yang rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ dengan satu sha’ kurma barni untuk dimakan oleh Nabi saw..” Ketika itu Rasulullah saw bersabda: ”Hati-hati! Hati-hati! Ini aslinya riba, ini aslinya riba. Jangan kamu lakukan, bila engkau mau membeli kurma maka juallah terlebih dahulu kurmamu yang lain untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma barni!
Penjelasan:
Barang-barang ribawi itu ada 6, yaitu: 2 berupa mata uang terdiri dari emas dan perak (dan semua yang dikiyaskan kepada keduanya seperti mata uang rupiah, ringgit, dolar dan lainnya pen.). Dan yang empat berupa makanan yaitu kurma, gandum, jawawut/sya’ir sejenis gandum (dan semua yang dikiaskan kepada ketiganya sebagai makanan pen.) dan garam, berdasarkan dalil:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ ، مِثْلا بِمِثْلٍ ، يَدًا بِيَدٍ ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى ، الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ “(أخرجه مسلم ( ٣ / ١٢١١ ) .
Artinya : Dari Abu Sa’id al Hudriyi dari Rasulullsh s.a.w. Beliau bersabda: Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jawawut/gandum dengan jawawut/gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam semisal dengan semisal, kontan dengan kontan, maka barang siapa yang menambah atau minta tambahan sungguh dia telah melakukan riba, orang yang mengambil dan orang yang memberi di dalam riba itu sama saja.

2.        Riba Nasi’ah
Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran barang ribawi tidak sejenis yang dilakukan secara hutangan (tempo). Atau dengan kata lain terdapat penambahan nilai transaksi yang diakibatkan oleh perbedaan atau penangguhan waktu transaksi. Riba nasi’ah dikenal dengan istilah riba jahiliyah karena berasal dari kebiasaan orang Arab jahiliyah, yaitu apabila memberi pinjaman lalu sudah jatuh tempo, berkata orang Arab: “mau dilunasi atau diperpanjang?”. Jika masa pinjaman diperpanjang modal dan tambahannya diribakan lagi.
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الرِّبَا فِي النَّسِيئَةِ رواه مسلم
Artinya: Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: sesungguhnya riba ada di dalam pinjaman (nasi’ah)
عن أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيئَةِ* رواه ابن ماجه تحقيق الألباني : صحيح
Artinya: Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Rasululah saw bersabda: ”Sesungguhnya riba ada di dalam pinjaman(nasi’ah).” (HR Ibnu Majah, Kitab at-Tijarat)
عَنْ أَبِى الْمِنْهَالِ قَالَ سَأَلْتُ الْبَرَاءَ ابْنَ عَازِبٍ وَزَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا عَنِ الصَّرْفِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَقُولُ هَذَا خَيْرٌ مِنِّي فَكِلاَهُمَا يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ دَيْنًا * رواه البخاري كتاب البيوع
Artinya: Dari Abi Minhal, ia berkata: Aku bertanya pada Baro’bin Azib dan Zaid bin Arqom tentang tukar menukar mata uang, maka masing-masing dari keduanya berkata: ”Ini lebih baik dariku ” dan masing-masing berkata: ”Rasulullah saw melarang menjual emas dengan perak secara hutang.”
Contoh riba nasi’ah: bunga bulanan atau tahunan di bank konvensional; mengambil keuntungan atau kelebihan atas pinjaman uang yang pengembaliannya ditunda.
3.        Riba Qardh
Riba yang muncul akibat adanya tambahan atas pokok pinjaman yang dipersyaratkan di muka oleh kreditur atau shahibul maal kepada pihak yang berutang (debitur), yang diambil sebagai keuntungan. Contoh: shahibul maal memberi pinjaman uang kepada debitur Rp. 10 juta dengan syarat debitur wajib mengembalikan pinjaman tersebut sebesar Rp. 18 juta pada saat jatuh tempo.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الرِّبَا فِي الدَّيْنِ قَالَ عَبْدُ اللهِ مَعْنَاهُ دِرْهَمٌ بِدِرْهَمَيْنِ *رواه الدارمي كتاب البيوع
Artinya: Dari Usamah bin Zaid, sesungguhnya Rasululah saw bersabda: ”Sesungguhnya riba berada pada utang.” Abdillah berkata: yang dimaksud Nabi yaitu satu dirham (dibayar) dua dirham.
4.        Riba Jahiliyah
Riba yang muncul akibat adanya tambahan persyaratan dari kreditur atau shahibul maal, di mana pihak debitur diharuskan membayar utang yang lebih dari pokoknya, karena ketidakmampuan atau kelalaiannya (default) dalam pembayaran saat utang telah jatuh tempo. Contoh: debitur memiliki utang senilai Rp. 10 juta, jatuh tempo 1 Desember 2011. Namun sampai dengan tanggal tersebut, debitur tidak mampu membayar. Akhirnya pihak kreditur membuat syarat, jangka waktu pinjaman dapat diperpanjang, tetapi jumlah utang bertambah menjadi Rp. 15 juta.
حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الرِّبَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الْحَقُّ إِلَى أَجَلٍ فَإِذَا حَلَّ الأَجَلُ قَالَ أَتَقْضِي أَمْ تُرْبِي فَإِنْ قَضَى أَخَذَ وَإِلاَّ زَادَهُ فِي حَقِّهِ وَأَخَّرَ عَنْهُ فِي الأَجَلِ *رواه مالك كتاب البيوع
Artinya: Dari Malik dari Zaid bin Aslam, ia berkata: Riba pada zaman jahiliyah yaitu bahwa ada seorang laki-laki, memiliki suatu kewajiban (utang) pada laki-laki (yang lain) untuk jangka waktu tertentu. Maka ketika telah jatuh tempo, yang memberikan pinjaman (kreditur) berkata: Apakah kamu mau membayar atau memberi tambahan (pembayaran). Maka ketika debitur membayar, kreditur menerima (pembayaran), dan jika tidak membayar, maka debitur menambah haknya kreditur, dan kreditur memperpanjang sampai waktu tertentu.
5.        Riba yad
Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran barang ribawi maupun yang bukan ribawi, di mana terdapat perbedaan nilai transaksi bila penyerahan salah satu atau kedua-duanya diserahkan dikemudian hari. Dengan kata lain, pada riba yad terdapat dua persyaratan dalam transaksi tersebut yaitu satu jenis barang dapat diperdagangkan dengan dua skema yaitu kontan dan kredit. Contoh: harga mobil baru jika dibeli tunai seharga Rp. 100 juta, dan Rp. 150 juta bila mobil itu dibeli secara kredit dan sampai dengan keduanya berpisah tidak ada keputusan mengenai salah satu harga yang ditawarkannya .
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ *رواه النسائي كتاب البيوع (تحقيق الألباني :حسن صحيح)
Artinya: Dari Abdullah bin Umar dari Nabi saw, beliau bersabda: ”Tidak halal pinjaman dan jual-beli, tidak juga dua syarat dalam satu jual-beli, dan tidak boleh menjual barang yang tidak ada padamu.
Hukum Riba
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya, dan seberapun banyak ia dipungut.Allah swt berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. QS Al-Baqarah ayat 275.
Dan diteruskan juga pada surat AL-Baqarah ayat 279 yang berbunyi sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. QS Al-Baqarah  279.
Di dalam hadis Nabi Muhammad saw menyatakan:
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah.
عَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. HR Muslim
Imam al-Shan’aniy juga menulis dalam Kitab Subul al-Salaam yang  mengatakan seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global. Karna riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer. Dan Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy menyatakan kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.
Mahammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayaat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan antara kaum muslim atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an: sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih .Dan  Abu Ishaq juga menulis di dalam Kitab al-Mubadda’ yang  menyatakan keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Dampak dan Hikmah Pelarangan Riba
Banyak pakar muslim yang menyatakan bahwa pelarangan riba oleh Islam memiliki 2 dimensi :
1.      Menghadirkan akad bisnis dan komersial dengan pembagian risiko yang setara
2.      Menganggap tindakan pemberian pinajaman sebagai tidakan kebajikan dengan alasan untuk membantu seseorang yang sedang membutuhkan.
Menurut yusuf qardhawi, para ulama telah menjelaskan panjang lebar hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain :
a.       Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, tetapi hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat membawa kerusakan baik individu maupun masyarakat.
b.      Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungann yang di peroleh si pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya. Keuntungannya diperoleh dengan cara memeras tenaga orang lain yang pada dasarnya lebih lemah dari padanya.
c.       Keharaman riba dapat membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini mengandung pesan moral yang sangat tingggi.
d.      Biasanya orang yang memberi utang adalah orang yang kaya dan orang yang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utanag dari orang yang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahmah Allah swt. Hal ini akan merusak sendi-sendi kehidupan sosial.
C.      Khiyar
Kata al-khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan.[6] Khiyar secara bahasa adalah kata nama dari ikhtiyar yang berarti mencari yang baik dari dua urusan baik meneruskan akad atau membatalkannya. Sedangkan menurut istilah kalangan ulama fiqih yaitu mecari yang baik dari dua urusan yang baik berupa meneruskan atau membatalkannya. Pembahasan al – khiyar dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.
Macam-macam Khiyar
Terdapat beberapa pendapat ulama mengenai macam-macam kkhiyar itu sendiri sesuai dengan perspektif masing-masing dalam mengklasifikasikan jenis-jenis khiyar, di antara pendapat tersebut adalah sebagi berikut :
1.        Khiyar majlis
Secara bahasa majelis berarti tempat duduk,bila dikaitkan dengan khiyar maka memilki arti  hak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli selama penjual dan pembeli belum berpisah atau keduanya mesih bersama-sama ditempat tersebut, seperti yang ditegaskan rasulullah dalam beberapa hadistnya diantaranya:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَه
 “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.”
Begitu juga sabda nabi :
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلْبَائِعُ وَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ حَتَّى يَتَفَرَّقَا, إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ, وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ )  رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اِبْنَ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ. وَفِي رِوَايَةٍ: ( حَتَّى يَتَفَرَّقَا مِنْ مَكَانِهِمَا )
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-beli dibatalkan.” Riwayat Imam Lima kecuali IbnuMajah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu al-Jarus.Dalam suatu riwayat: “Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka.” 
Batas Berlakunya Khiyar Majlis
Berdasarkan hadist di atas, dapat disimpulkan bahwa rosulullah tidak menentukan atau menetapkan makna perpisahan yang menjadi batasan selesainya transaksi,apakah ketika mereka berpindah dari majelis ataukah saling berpisah badan atau hanya pada adanya kesepakatan berakhirnya akad.
Mengenai masalah ini As-suyuthi berkata,” ulama ahli fiqh menyatakan :setiap hal yang disebutkan secara mutlak dan tidak disebutkan batasannya dalam syariat dan tidak juga dalam syariat maka pembatasanya dikembalikan kepada ‘urf”.
Dari sini dapat diambil keimpulan bahwa batasan dari khiyar majelis itu diserahkan kepada ‘urf masing-masing.
Hikmah ditetapkannya Khiyar Majlis
Disyariatkannya hak pilih macam (khiyar majelis) ini guna menutup atau memperkecil pintu-pintu penyesalan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi jual-beli.Sebab sering kali seseorang terlalu tertarik atau juga terpengaruh terhadap suatu hal sehingga ia terburu-buru dalam memutuskan untuk membeli atau menjual sesuatu tanpa mepertimbangkan manfaat atau kerugiannya,sehingga setelah transaksi terjadi ada pihak yang merasa kurang diutungkan,dan kemudian menimbulkan rasa kebencian terhadap saudaranya atau hal yang serupa. Sehingga tercapailah salah satu syarat jual beliyaitu adanya rasa suka sama suka dapat terwujud dengan sempurna,sehingga keduanya terhindar dari larangan Allah Ta’ala dalam firmanya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-Nissa’:29)
2.        Khiyar Syarat
Pengertian khiyar syarat menurut ulama fiqih adalah:
“suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang melakukan akad atau masing-masing akid atau selain kedua pihak yang akad memilikil hak pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.” Misalnya seorang pembeli berkata,” Saya beli dari kamu barang ini,dengan catatan saya ber-khiyar (mempertimbangkan) selama sehari atau tiga hari.”
Seperti sabda nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَة 
”Jika kamu menjual sesuatu, maka katakan tidak ada penipuan.” (HR. Bukhari).”
Di syariatkannya khiyar syarat ini berdasarkan hadist nabi yang telah tersebut di atas yaitu :
Dan bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan.kemudian mereka berjual beli dengan asas pilihan yang ditawarkan tersebut maka selesailah akad jual beli tersebut.”
Sebagian ulama menafsirkan hadis ini : Bahwa bila salah satu dari keduanya memberikan tawaran berupa pilhan kepada lawan transaksinya untuk memperpanjang masa berlakunya hak pilih ini, kemudian mereka menyetujuinya, maka akad jual beli selesai, sesuai dengan tawaran tersebut dan penafsiran ini selaras dengan prinsip suka sama suka, sebab prinsip ini dikembalikan seutuhnya kepada kedua belah pihak yang bertransaksi.
Jumhurul ulama sepakat (ijma’) bahwa boleh bagi orang yang berjual-beli melakukan transaksi semacam ini.
Batas maksimal khiyar syarat
Dalam menentukan batas maksimal khiyar syarat para ulama berselisih pendapat sesuai dengan metode ijtihad masing-masing yaitu :
a.    Madzhab hambali : masing-masing penjual dan pembeli berhak menetapkan persyaratan sesuka mereka, tanpa ada batas waktu.mereka beralasan bahwa hak mengadakan persyaratan adalah hak mereka berdua, sehingga bila keduanya rela mengadakan syarat hak untuk membatalkan dalam waktu lama, maka itu terserah kepada mereka berdua karena tidak ada dalil yang membatasinya
b.    Madzhab Hanafi dan Asy-Syafi’I: Lama hak yang dipersyaratkan tidak boleh lebih dari tiga hari, mereka mengambil dalil dari perkataan umar bin khattab berikut :
Umar bin Khattab berkata, ”Aku tidak mendapatkan dalil yang menetapkan adanya persyaratan yang lebih lama di banding yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW untuk Habbban bin Munqiz, beliau menetapkan untuknya hak pilih selama tiga hari, bila ia suka ia meneruskan pembeliannya, dan bila tidak suka, maka ia membatalkannya,” (HR.Ad-Daruquthni dan Ath-Thabrani,dan dilemahkan oleh Hafidz ibnu Hajar)
c.    Madzhab Maliki yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah : Lama hak pilih yang di syaratkan boleh lebih dari tiga hari sesuai dengan kebutuhan dan barang yang diperjual belikan,mereka beralasan bahwa hak semacam ini demi kemaslahatan masing-masing pihak yakni kemslahatan yang berkaitan dengan barang yang mereka perjual-belikan,sehingga harus disesuaikan dengan keadaan barang tersebut.

3.        Khiyar Aib/Cacat
Khiyar aib adalah :
Asy-Syarbini berkata, “Khiyar cacat ialah khiyar yang disyariatkan karena tidak terwujudnya kriteria yang diinginkan pada barang baik diinginkan menurut kebiasaan masyarakat atau karena ada persyaratan atau karena ada praktek pengelabuhan. Dan yang dimaksud dengan kriteria yang diinginkan menurut kebiasaan masyarakat ialah tidak adanya cacat pada barang tersebut.”
Dasar hukumnya adalah :
1.      Hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ
Sesama muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus menjelaskan (aib/cacat)nya itu”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata di dalam Fathul Bari, “Isnadnya jayyid (bagus)”. Lihat Majma’ Az-zawaid IV/80, dan Nailul Authar V/211).
2.    Dan di dalam riwayat yang lain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
Barangsiapa yang berbuat menipu, maka dia bukan termasuk golongan kami”. (HR. Muslim I/98 no. 101, 102, dari hadits Abu Hurairah).          
Dan juga hadits Rasululloh yang berbunyi :
Dari Aisyah R.A. : Bahwa ada seorang lelaki yang membeli seorang budak, kemudian ia memperkerjakannya, lalu ia mendapatkan pada budak tersebut suatu cacat, sehingga ia mengembalikannya (kepadda penjual). Maka penjual mengadu kepada Rasululloh dan berkata : Wahai Rasululloh, sesungguhnya ia telah memperkerjakan buidakku? Maka beliu bersabda : “Keuntungan itu addalah tanggungjawab atas jaminan,”(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqy dan dihasankan oleh Al-Albani)
Sebagian ulama mengungkapkan definisi aib atau cacat yang dimaksud adalah: “ Setiap hal yang menyebabkan berkurangnya harga suatu barang.”
Dari definisi dan juga penjelasan sebelumnya dapat dipahami  bahwa cacat yang dapat menjadi alasa untuk membatalkan penjualan adalah cacat yang terjadi pada barang sebelum terjadinya akad penjualan, atau disaat sedang akad penjualan berlangsung atau  sebelum barang diserah-terimakan kepada pembeli.
4.        Khiyar Ru’yah
Yaitu khiyar bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan tehadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.
Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama hanafiya, malikiyah, Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyari’atkan dalam islam berdasrkan sabda Rasullah SAW, yang menyatakan:
ﻤﻦ ﺍﺸﺗﺭﻯ ﺸﻳﺌﺎ ﻠﻢ ﻳﺭﻩ ﻓﻬﻭ ﺒﺎﻠﺨﻳﺎَﺭﺇِﺬﺍﺭَﺁﻩََُ ( ﺭﻭﺍﻩﺍﺭﻗﻄﻰﻋﻦﺃﻫﺭﻴﺭﺓ)
 “Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu”. (HR. Dar al-Quthni dari Abu Hurairah).
Akad seperti ini, menurut mereka boleh terjadi, disebabkan objek yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad, atau karena sulit dilihat seperti membeli HP yang masih baru, yang oleh penjualnya tidak boleh dibuka.
5.        Khiyar Ta’yin
Yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitasnya dalam jual beli. Contoh, pembelian keramik: ada yang bekualitas super dan ada yang berkualitas sedang. Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super berkualitas sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan ahli keramik dan arsitek. Menurut ulama Hanafiyah khiyar ini boleh, dengan alasan bahwa produk sejenis yang beda bebeda kualitasnya sangat banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh si pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar agar pembeli tidak tertipu, maka khiyar ta’yin dibolehkan.
Akan tetapi, jumur ulama fiqh tidak menerima keabsahan khiyar ta’yin yang dikemukakan ulama Hanafiyah ini. Alasan mereka, dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa barang yang diperdagangkan (al-sil’ah) harus jelas, baik kualitasnya maupun kuantitasnya.
D.      Utang-Piutang
Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan utang.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. Atau dengan kata lain, Utang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Utang-piutang merupakan perbuatan kebajikan yang telah disyari’atkan dalam Islam. Hukumnya adalah mubah atau boleh. Dasar hukum bolehnya transaksi dalam bentuk utang-piutang tersebut dalam bentuk ayat al-Quran di antaranya pada surat al-Muzammil ayat 20:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.
Keutamaan Orang yang Terbebas dari Hutang
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: (1) sombong, (2) ghulul (khianat), dan (3) hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”
Mati Dalam Keadaan Masih Membawa Hutang, Kebaikannya Sebagai Ganti
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.”
Itulah keadaan orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut.
Urusan Orang yang Berhutang Masih Menggantung
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah dia selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas atau tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142)
Orang yang Berniat Tidak Mau Melunasi Hutang Akan Dihukumi Sebagai Pencuri
Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)
Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidul Qodir, 3/181)
Ibnu Majah membawakan hadits di atas pada Bab “Barang siapa berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya.”
Ibnu Majah juga membawakan riwayat lainnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.” (HR. Bukhari no. 18 dan Ibnu Majah no. 2411). Di antara maksud hadits ini adalah barangsiapa yang mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat tidak ingin mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan menghancurkannya..
Masih Ada Hutang, Enggan Disholati
Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.”Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata,“Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)
Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni Walaupun Mati Syahid
Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)
Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Sering Berlindung dari Berhutang Ketika Shalat
Bukhari membawakan dalam kitab shohihnya pada Bab “Siapa yang berlindung dari hutang”. Lalu beliau rahimahullah membawakan hadits dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).”
Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan adalah dalam masalah hutang?” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.”(HR. Bukhari no. 2397)
Berbahagialah Orang yang Berniat Melunasi Hutangnya
Ibnu Majah dalam sunannya membawakan dalam Bab “Siapa saja yang memiliki hutang dan dia berniat melunasinya.” Lalu beliau membawakan hadits dari Ummul Mukminin Maimunah.
كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا ».
Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia.” (HR. Ibnu Majah no. 2399. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih kecuali kalimat fid dunya -di dunia-)
Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ
“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)
Hukum Utang Piutang
Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya utang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah swt:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi saw pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda, “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan utang.”
Nabi saw juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud. Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya utang piutang (peminjaman).
2.3 Kerja Sama Dalam Mu’amalah Islam
Kerja sama yang dimaksud disini adalah kerja sama dalam berusaha untuk mendapatkan keuntungan.
Kerja sama dapat berlaku dalam usaha pertanian  dan peternakan dan dapat pula dalam usaha perdagangan dan industri. Kerja sama dalam pertanian dapat berlaku antara pemilik lahan pertanian dengan pekerja tani yang disebut muzara’ah; atau antara pemilik pepohonan dengan pekerja perawat pepohonan tersebut, yang disebut musaqah.
A.      Muzara’ah dan Mukhabarah
Pengertian Muzara’ah
Menurut bahasa, muzara’ah  memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melempar tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar), makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki.Muzara’ah yakni menyewa pekerja untuk bercocok-tanam pada sawah ladang itu dengan membayar sebagian dari hasil tanah itu.
Menurut bahasa, kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.[7]
Menurut istilah , muzara’ah didefinisikan oleh para ulama, seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, sebagai berikut:
1.      Menurut Hanafiyah, muzara’ah  ialah:
عَقْدٌ عَلىَ الزَّرْ عِ بِبَعْضِ الْخَا رِجِ مِنَ الْأَ رْضِ
Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”.
2.      Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah:
اَنْ يَدْ فَعَ صَا حِبُ الْأَ رْ ضِ الصَّا لِحَةِ الْمُزِ ارَ عَةِ أَرْ ضَهُ لِلْعَا مِلِ الَّذِ ىْ يَقُوْ مُ يِزَ رْ عِهَا وَ بَدْ فَعُ لَهُ الْحُبَّ
“Pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.”
3.      Menurut Malikiyah muzara’ah ialah:
اَلشَّرْ كَةُ فِى الْعَقْدِ
“Bersekutu dalama akad.”
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa dari pengertian tersebut dinyatakan, muzara’ah adalah menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.
4.      Menurut dhair nash, al-syafi’i , muzara’ah ialah:
اكْتِرَا ء الْعَا مِلِ لِيَزْرَ عَ الْأَ رْ ضَ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
“Seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.”
Setelah diketahui definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa muzara’ah  yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola dan modalnya dikeluarkan dari pemilik tanah.
Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah ialah pembagian sawah atau lading, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari yang punya sawah.[8]
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya : Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari).
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Menurut Imam Syafi’i, Hukum muzaraah adalah bathil atau tidak sah dikarenakan bibit dari pertanian tersebut dari pemilik tanah dan pekerjanya mendapatkan separuh dari hasil panen. Menurut beliau muzaraah ini bisa sah dengan syarat Pemilik tanah yang sekaligus pemilik benih tadi mendapatkan 2/3 dari hasil panen atau lebih dan pekerjanya mendapatkan 1/3.
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Syarat-Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah
1.      Aqil dan Baligh
2.      Ijab dari pemilik tanah dan qabul dari pekerja.
3.      Kedua pelaku akad memiliki hak untuk melakukan secara langsung akad-akad tukar-menukar seperti ini.
4.      Bagian milik masing-masing dari keduanya, yang dating dari hasil yang diperoleh, harus jelas dan musya’ antar keduanya, baik dengan bagian yang sama maupun berbeda  sesuai dengan kesepakatan.
5.      Penentuan tanah atau lahan yang akan digarap.
6.      Tanah harus layak dan baik untuk ditanami, meski perlu pengolahan dan perbaikan.
7.      Penentuan masa berlakunya Muzara’ah dengan hari, atau bulan, atau tahun, dan harus mencukupi untuk masa tanam dan panen.







B.       Musaqah
Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu orang yang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon lain supaya mendapatkan kemasalahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan[9].
Menurut Syafi’iyah,
 أن يعا مل شخص يملك نخلا أو عنبا سخصا أخر على أن يبا شر ثا نيهما النّحل او العنب
بالسّقى والتّر بية والحنظ ونحوذلك وله فى نظير عمله جزاءمعيّن منالثمر الّذى يحرج منه
Musaqah berarti memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.”
Musaqah  secara istilah adalah mempekerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya serta hasil yang direzekikan Allah SWT. dari pohon itu untuk mereka berdua (pendapat Syekh Syihab ad-Din al-Qalyubi dan Syekh Umarah).
Dasar hukumnya dalah hadits Nabi saw. riwayat Imam Muslim dari Ibnu Amr, r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda :
اعطى خيبر بشطر مايحرج من ثمراو زرع وفى رواية : دفع إلى اليهود خيبر وارضها على انيعملوها من اموالهم وان لرسول الله صلى الله عليه وسلم شرطها
Artinya: “Memberikan tanah khaibar dengan separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman).” Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi.


Secara terminologis al-musaqah didefinisikan oleh para ulama :
a.       Abdurahman al-Jaziri, al-musaqah ialah : “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu”.
b.      Malikiyah, bahwa al-musaqah ialah : “sesuatu yang tumbuh”. Menurut Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima macam :
1.      Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun
2.      Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati
3.      Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi dan qatsha’ah
4.      Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar
5.      Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya.
c.       Menurut Syafi’iyah yang di maksud dengan al-musaqah ialah : “Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut”.
d.      Menurut Hanabilah bahwa al-musaqah itu mencakup dua masalah :
1.      Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur,    kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya.
2.      Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah, karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkanya.
Rukun musaqah meliputi beberapa hal:
1.        Antara pemilik kebun dan tukang kebun (penggarap) hendaknya orang yang sama-sama berhak bertasaruf (membelanjakan harta keduanya).
2.        Kebun dan semua pohon yang berbuah boleh diparokan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan (satu kali dalam satu tahun) maupun yang berbuah hanya satu kali kemudian mati, seperti jagung dan padi.
Rukun-rukun musaqah menurut ulama Syafi’iyah ada 5 berikut ini.
a.         Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan dengan samara (kinayah). Disyaratkan shighat dengan lafazh dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
b.        Dua orang atau pihak yang berakad (al-‘aqidani), disyaratkan bagi orang-orang yang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola akad, seperti baligh, berakal, dan tidak berada di bawah pengampuan.
c.         Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh diparohkan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati, seperti padi, jagung, dan yang lainnya.
d.        Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan, seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurutkebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah berbuah, juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-cabang pohon yang akan menghambat kesuburan buah, atau mengawinkannya.
e.         Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan bekerja dikebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat, atau ukuran yang lain.

Syarat Musaqah
Syarat musaqah adalah sebagai berikut:
1.        Ahli dalam akad.
2.        Menjelaskan bagian penggarap
3.        Membebaskan pemilik dari pohon.
4.        Hasil dari pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang melangsungkan akad sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
5.        Tidak disyaratkan untuk menjelaskan mengenai jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.
 Dasar Hukum Musaqah
Asas hukum musaqah ialah sebuah hadistyang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أعطى خيبر بشطر مايخر ج منها من ثمر او زرعوفي رواية دفع إلى اليهود خيبر وأرضها على ان يعملوها من أموالهم وأنّ لر سول الله ص مشطرها
“Memberikan tanah khaibar dengan bagian separuh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian. Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk di olah dan modal dari hartanya, penghasilan separuhnya untuk Nabi”
Jumhur ulama fiqh mengatakan: bahwa akad Al-musaqah itu dibolehkan. Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum musaqah adalah:
a.         Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).
b.        Dari Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c.         “Bahwa Rasulullah Saw, melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu”. (H.R. Muttafaqun ‘alaih)




C.      Salam
As-Salam secara bahasa memiliki banyak arti, di antaranya adalah at-taqdîm waat-taslîm (mendahulukan dan menyerahkan). As Salam terkadang dikenal juga dengan sebutan As Salaf atau Pendahuluan.
Ba’i as-Salam, atau biasa disebut dengan salam, merupakan pembelian barang yang pembayarannya dilunasi dimuka, sedangkan penyerahan barang dilakukan di kemudian hari. Akad as salam ini digunakan untuk memfasilitasi pembelian suatu barang (biasanya barang hasil pertanian) yang memerlukan waktu untuk memproduksinya.
Dalam jual beli salam ini, resiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang disepakati.[10]
Landasan Hukum Jual Beli Salam
Akad bai’ salam  diperbolehkan dalam akad jual beli. Berikut pemakalah paparkan dalil-dalil (landasan syari’ah)yang terdapat dalam Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama.
1.        Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 Allah telah menjelaskan tata cara mu’amalah, yaitu:
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. …”
Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa Allah telah membolehkan melakukan akad jual beli secara tempo. Maka hendaknya melakukan pencatatan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
2.        Barang siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui
Hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan tentang keabsahan jual beli salam.
Berdasarkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam praktik jual bei salam harus ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya, sehingga tidak terjadi perselisihan.
3.        Sahabat Ibnu Abbas r.a berkata:
Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)
Dalil dari As-Sunnah yang lain  adalah hadis Abdullah bin Abbasradhiallahu 'anhuma yang berbunyi:
قَدِمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, “Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun 'alaih)
4.        Kesepakatan ulama (ijma) akan diperbolehkannya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Munzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan. (Zuhaili, 1989, hal. 568)

Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
Dalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
a.         Pembeli (muslam)
b.        Penjual (muslam ilaih)
c.         Modal / uang (ra’sul maal)
Modal mempunyai syarat tertentu pula, yaitu:
- Jelas spesifikasinya, baik jenis, kualitas, dan jumlahnya.
- Harus diserahkan saat terjadinya akad.
d.    Barang (muslam fiih).
Barang yang menjadi obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat diakui sebagai hutang.
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a.         Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
b.        Dilakukan pada barang-barang yang memiliki criteria jelas
c.         Penyebutan criteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan
d.        Penentuan tempo penyerahan barang pesanan
e.         Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f.         Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha
Contoh Jual Beli Salam
Seorang petani yang memiliki 2 hektar sawah mengajuan pembiayaan sebesar Rp. 5.000.000,00. Pembiyaan tersebut sudah mencakup ongkos bibit dan upah pekerja. Ia berencana menanami sawahnya dengan bibit jenis IR36 yang bila telah digiling menjadi beras dijual dipasar dengan harga Rp. 2.000,00 per kg. Penghasilan yang di dapat dari sawahnya biasanya berjumlah 4 ton beras per hektar. Ia akan mengantar beras ini setelah 3 bulan. Bagaimana cara perhitungannya?
Jawaban
Jumlah pembiayaan yang diajukan oleh petani sebesar Rp. 5.000.000,00, sedangkan harga beras IR36 di pasar Rp. 2.000,00 per kg. Karenanya, bank bisa membeli dari petani sebanyak 2,5 ton (Rp. 5.000.000,00 dibagi Rp. 2.000,00 per kg). Beras tersebut dapat dijual kepada pembeli berikutnya. Setelah melalui negoisasi, bank menjualnya sebesar Rp. 2.400,00 per kg., yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp. 6.000.000,00 (dibilang secara umum, bank mendapat keuntungan jual beli, bukan pembuangan uang, sebesar 20% margin)
D.      Qiradh
Istilah Mudharabah digunakan oleh orang irak, sedangkan orang hijaz (sebuah daerah di Arab Saudi) menyebutnya dengan istilah Qiradh, dengan demikian mudharabah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa Qiradh diambil dari kata al-Qith’u yang berarti (potongan), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata Muqaradhah yang berarti (kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba.
Menurut istilah Syara’ mudharabah berarti akad diantara dua pihak untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi diantara mereka berdua sesuai perjanjian yang telah disepakati..
Dengan adanya qiradh, seseorang yang mempunyai keahlian usaha tetapi tidak memiliki modal akan dapat tertolong, sehingga modalnya tidak habis dan memperoleh keuntungan bersama. Sabda Nabi SAW:
والله فى هون العبد ما دام العبدفى عون اخيه روه مسلم وابوداودوالترمذى
Artinya : "Dan Allah selalu menolong hamhanya selama hamba itu menolong saudaranya" (HR. Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Seperti yang dikutip oleh Ali Fikri, ulama Hanabilah mendefinisikan qardh sebagai berikut :
القَرْضٌ دَفْعُ مَا لٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَه
Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.
Dasar Hukum Qiradh
Pihak yang meminjami mempunyai pahala Sunat, sedangkan dilihat dari pihak yang peminjam maka hukumnya, boleh (mubah).
a.    Firman Allah SWT dalam Alqur’an:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak. (AL-Hadid:11)
b.    Nabi saw. Bersabda:
ومن نفس عن اخيه كربة من كرب الدنيانفس الله عنه كربة من كرب يوم القيمة
Barang siapa yang memudahkan kesulitan dunia saudaranya, maka Allah akan memudahkan kesulitan yang dihadapinya pada hari kiamat. (HR. Muslim).
c.    Dari Ibnu Mas'ud, bahwa nabi saw bersabda:
مامن مسلم يقرض مسلما قرضامرتين الا كا ن كصدقة مرة
Tidak seorang muslim yang mengQiradhkan hartanya kepada orang muslim sebanyak dua kali, kecuali perbuatannya seperti sedekah satu kali. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
d.   Dari Anas, bahwa nabi saw bersabda:
رايت ليلة اسري بي عل باب الخنة مكتوبا:الصدقة بعشرامثا لهاوالقؤض بثمانية عشر.فقلت:ياخبريل,ما بال القؤض افضل من الصدقة؟قال:لأ ن السائل يسأل وعنده., والمستقرض لايستقرض إلامن حخة
"Pada malam diisra'kan aku melihat tulisan di pintu surga, tertulis: 'sedekah mendapat balasan sepuluh kali lipat dan Qiradh mendapat balasan delapan balasan kali lipat'. Aku katakan: ' mengapa Qiradh itu dapat lebih afdhal daripada sedekah'? Jibril menjawab: 'karena (biasanya) orang yang meminta waktu ia (sedekah) ia sendiri punya, sedangkan orang yang minta diQiradhkan ia tidak akan minta diQiradhkan kecuali ia butuh.
Rukun dan Syarat Qiradh
Qiradh bisa berlangsung apabila terpenuhi rukun dan syarat sebagai berikut[11]:
Rukun
Syarat
a.       Pemilik dan penerima modal
Dewasa, sehat akal dan sama-sama rela
b.      Modal
Harus diketahui secara jelas (jumlahnya) baik oleh pemilik maupun penerima modal
c.       Pekerjaan
Jenis pekerjaan ditentukan sendiri oleh penerima modal, sesuai bakat dan kemampuannya. Pemilik modal perlu mengetahui jenis pekerjaan tersebut
d.      Keuntungan
Besar atau kecilnya bagian keuntungan hendaknya dibicarakan saat mengadakan perjanjian. misalnya, pemilik modal memperoleh 40%, sedangkan penerima modal 60%.

Hikmah Qiradh
1.      Membantu kaum yang lemah yang tiada modal namun mampu menggunakan modal untuk suatu usaha yang hasilnya bisa dipetik oleh kedua belah pihak.
2.      Menyenangkan kedua belah pihak, pihak pemilik modal bias mendapat keuntungan dari modalnya, pihak yang menjalankan modal mampu mengembangkan usahanya lebih maju.
3.      Menjunjung nilai tolong-menolong yang sangat dianjurka oleh islam.
4.      Mengurangi pengangguran, karena dengan dibukanya usaha secara otomatis membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak.















Bab III
Penutup
3.1   Kesimpulan
1.        Pengertian secara luas
Muamalah merupakan Aturan-aturan Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan social.
2.        Pengertian secara sempit
Muamalah merupakan aturan tentang kegiatan ekonomi manusia. Pada dasarnya, perbedaan dari pengertian muamalah secara luas maupun secara sempit terletak pada cangkupannya, pengertian luas mencangkup munakahat, politik, warisan, dan pidana. Sedangkan dalam pengertian sempit cangkupannya hanya tentang ekonomi.
3.        Transaksi dalam Mu’amalah Islam yaitu:
a.       Jual-beli
b.      Riba
c.       Khiyar
d.      Utang-piutang
4.        Kerja sama dalam Mu’amalah Islam yaitu:
a.       Muzara’ah dan Mukhabarah
b.      Musaqah
c.       Salam
d.      Qiradh






3.2   Saran
Dari pembahasan di atas maka kami menyarankan agar para pembaca mengetahui dan memahami tentang “ Hukum Mu’amalah”
Kita sebagai umat muslim agar memperhatikan hukum muamalah dan tata cara jual beli yang sah menurut agama islam agar mendapat keridhoan Allah. Kita juga harus memperhatikan riba yang terkandung didalam hal jual beli tersebut, karena terdapat hadist yang mengharamkan riba dalam islam.
Akhirnya makalah ini memang jauh dari sempurna dan semoga makalah ini dapat bermanfaat, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kemajuan kita bersama.















Daftar Pustaka
Ascarya. 2011. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta : Rajawali Pers
Mas’ud, Ibnu. 2007. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung : Pustaka Setia
Rahman Ghazali, Abdul. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta : kencana
Rasjid, Sulaiman. 2002. Fiqih Islam. Bandunng : Sinar Baru Algensindo
Sahrana, Sohari. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia
Suhendi, Hendi. 2011. fiqh Muamalah. Jakarta : Rajawali Pers
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta : Prenada Media
Yazid Afandi, M. 2009. Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga
        Keuangan Syariah. Yogyakarta: Logung Pustaka.
         qiradh.html
http://rumaysho.com/muamalah/bentuk-jual-beli-yang-terlarang-4-2414





[1] M. Yazid Afandi
. Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah .
     Hal. 2
[2] Ibnu Mas’ud. Fiqih Madzhab Syafi’i. Hal. 22
[3]  Amir Syarifudin. Garis-garis Besar Fiqh. Hal.194
[4]  Hendi Suhendi. fiqh Muamalah. Hal. 70
[6]  Abdul rahman ghazali. Fiqh Muamalat. Hal. 97

[7]  Sohari Sahrana. Fikih Muamalah. Hal.213
[8] Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Hal. 301
[10] Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Hal. 90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar