Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Manusia
adalah makhluk yang paling sempurna di antara ciptaan-NYA dan juga sebagai
pemimpin dimuka bumi ini. Dari pengertian ini biasanya disalah artikan oleh
manusia itu sendiri, dengan cara bertindak semaunya sendiri/seenaknya sendiri
tanpa melihat apa ada yang dirugikan disekeliling mereka. Artinya hanya peduli
dengan kepentingannya sendiri tanpa peduli pada kepentingan orang lain. Seperti
contoh bermasyarakat khususnya dengan tetangga, jika kita menyalakan radio
selayaknya sesuai aturan jangan sampai mengganggu tetangga kita, yang mana dari
itu ketahuanlah bahwa kita punya rasa tenggang rasa atau tidak. Jadi secara
tidak lain kita sebagai warga Negara yang baik harus taat pada aturan tertulis
maupun yang tidak tertulis seperti aturan dalam masyarakat. Khususnya bagi umat
muslim selain harus taat pada aturan-aturan tertulis maupun yang tidak
tertulis, kita juga mempunyai aturan agama yang memang wajib kita laksanakan
jika ingin benar-benar menjadi seorang muslim yang haqiqi yaitu fiqh.
Didalamnya
mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian,
sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya. Para ulama mujtahid
dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka tidak
henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena
dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul syariat dan kaidah-kaidahnya.
Berangkat
dari sini, sudah menjadi kewajiban setiap muslim dalam kehidupannya untuk
mengenal dan mengamalkan hukum-hukum syariat terkait dengan amalan tersebut.
Seperti yang akan ditulis oleh pemakalah yaitu tentang kaidah-kaidah fiqh
bermuamalah yang bertujuan sebagai acuan/sandaran kita dalam hubungan
kepentingan antar sesama manusia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahannya
adalah:
1.
Apa pengertian Mu’amalah?
2.
Bagaimana Transaksi Dalam Mu’amalah Islam?
3.
Bagaimana Kerja Sama Dalam Mu’amalah Islam?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Untuk Mengetahui pengertian Mu’amalah
2.
Untuk Mengetahui Transaksi Dalam Mu’amalah Islam
3.
Untuk Mengetahui Kerja Sama Dalam Mu’amalah Islam
Bab II
Pembahasan
2.1 Mu’amalah
Muamalah berasal dari bahasa arab,
dari kata معاملة bentuk masdar dari kata عامل – يعامل
- معاملة yang
mempunyai arti Saling bertindak, saling berbuat, saling mengamalkan.[1]
Sedangkan pengertian muamalah secara
istilah di bagi menjadi dua, yakni
a.
Pengertian
secara luas
Muamalah
merupakan Aturan-aturan Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan
urusan duniawi dalam pergaulan social.
Sedangkan menurut Ibnu Abidin,
arti muamalah secara luas di bagi menjadi 5 konteks bidang, antara lain:
1.
Mu’awadhah
Maliyah (hukum kebendaan)
2.
Munakahat
(Hukum perkawinan)
3.
Muhasanat
(Hukum Acara)
4.
Amanat dan
‘Ariyah (Pinjaman)
5.
Tirkah
(harta warisan)
Menurut
Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan
dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan
lain sebagainya.
Menurut
Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap
yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai
kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan
dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan
dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk
bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
b.
Pengertian
secara sempit
Muamalah merupakan aturan tentang
kegiatan ekonomi manusia. Pada dasarnya, perbedaan dari pengertian muamalah
secara luas maupun secara sempit terletak pada cangkupannya, pengertian luas
mencangkup munakahat, politik, warisan, dan pidana. Sedangkan dalam pengertian
sempit cangkupannya hanya tentang ekonomi.
Dari
berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah segala
peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama
maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan
alam sekitarnya.
2.2 Transaksi Dalam
Mu’amalah Islam
Secara sederhana
transaksi diartikan peralihan hak dan pemilikan dari satu tangan ke tangan
lain. Ini merupakan satu cara dalam memperoleh harta disamping mendapatkan
sendiri sebelum menjadi milik seseorang dan ini merupakan cara yang paling
lazim dalam mendapatkan hak. Transaksi itu secara umum dalam al-Quran diartikan
dengan tijarah.
Adapun cara
berlangsungnya tijarah tersebut yang
sesuai dengan kehendak Allah adalah menurut prinsip suka sama suka, terbuka dan
bebas dari unsur penipuan untuk mendapatkan sesuatu yang ada manfaatnya dalam
pergaulan hidup di dunia. Prinsip tersebut di ambil dari petunjuk umum yang
disebutkan dalam al-Quran dan pedoman yang diberikan dalam sunnah Nabi.
Adanya prinsip pokok
suka sama suka (تراضي)
ditemukan secara gamblang dalam surat an-Nisa’ ayat 29 :
يَٓا اَيُّهَا
الَّذِينَ اٰمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّا
اَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوٓا أَنْفُسَكُمْ ۗ
إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
Dari ayat tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang menjadi kriteria suatu transaksi yang hak dan sah adalah
adanya unsur suka sama suka di dalamnya. Segala bentuk transaksi yang tidak
terdapat padanya unsur suka sama suka, maka transaksi itu adalah batil, yang
berarti memakan harta orang lain secara tidak sah.
Adapun bentuk-bentuk transaksi dalam
muamalah Islam secara garis besar dipisah menjadi dua yaitu:
1. Berlangsung
dengan sendirinya tanpa adanya kehendak dari pihak-pihak yang terlibat, yang
disebut ijbari. Peralihan hak dalam
bentuk ini hanya terdapat dalam kewarisan; dalam arti harta pewaris beralih
kepada ahli waris sesuai dengan jumlah yang ditentukan pada saat terjadinya
kematian, tanpa memerlukan keinginan dan kehendak dari pewaris dan tidak
memerlukan penerimaan dan kerelaan dari ahli waris yang menerima.
2. Peralihan
secara ikhtiyari dalam arti peralihan
hak kepada orang lain berlaku atas kehendak dari salah satu atau kedua belah
pihak. Peralihan hak atas kehendak satu pihak mengandung arti bahwa peralihan hak
itu tidak diimbangi oleh pihak lain oleh karenanya peralihan tersebut tidak
memerlukan suatu perjanjian atau akad.
A.
Jual-beli ( البيع )
Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa
adalah tukar menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau
peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan
oleh syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang,
dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas
kerelaan kedua belah pihak.[2] Hukum melakukan jual
beli adalah boleh (جواز).
Para Ulama memberikan definisi yang berbeda-beda.
1. Di kalangan Ulama Hanafi terdapat dua pengertian: yang pertama, saling
tukar menukar harta dengan harta melalui cara tertentu. Yang kedua tukar
menukar sesuatu yang diingini dengan sepadan melalui cara tertentu yang
bermanfaat.
2. Ulama Madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali memberikan pengertian, jual
beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan
pemilikan. Definisi ini menekankan pada aspek milik pemilikan, untuk membedakan
dengan tukar menukar harta/barang yang tidak mempunyai akibat milik kepemilikan,
seperti sewa menyewa. Demikian juga, harta yang dimaksud adalah harta dalam
pengertian luas, bisa barang dan bisa uang.
Dasar Hukum
Orang yang
terjun dalam bidang usaha jual beli harus mengetahui hukum jual beli agar dalam
jual beli tersebut tidak ada yang dirugikan, baik dari pihak penjual maupun
pihak pembeli. Jual beli hukumnya mubah.
Jual beli disyariatkan dalam al-Quran, sunnah dan ijma’ para
umat (Ulama).
1.
Al-Quran
Dalam surat al-Baqarah ayat 275 disebutkan:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Dalam ayat lain dijelaskan
Surat al-Baqarah ayat 198
:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِن رَبِكُمْۗ فَإِذَٓاَفَضْتُم
مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِۖ وَاذْكُرُوهُ
كَمَا هَدٰاكُمْۚ وَإِن كُنتُم مِن قَبْلِهٖ لَمِنَ الضَّآلِّينَ.
Artinya:
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada
Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana
yang ditunjukkan-Nya kepadamu. dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat”.
2.
As-Sunah
sabda Rasulullah saw:
أَفْضَلُ الْكَسْبِ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ
بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Artinya: “Sebaik-baik penghasilan (profesi) adalah
usaha seseorang dengan tangannya tangannya sendiri dan setiap jual beli yang
diterima oleh Allah”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Syu’bul Imân Juz 2
Hlm. 434).
3.
Ijma’
Para
ulama sepakat bahwa jual beli disyariatkan. Alasannya karena manusia
tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya tersebut
harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. (Mausu'ah Al Fiqhiyah
Quwaitiyah jilid: 9 hal: 8)
Adapun hikmah dibolehkannya jual-beli
itu adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan
hartanya, namun dia tidak memerlukannya.
seseorang memiliki harta di tangannya, namun dia tidak memerlukannya.
Sebaliknya dia memerlukan suatu bentuk harta, namun harta yang diperlukannya
itu ada di tangan orang lain. Kalau seandainya orang lain yang memiliki harta
yang diingininya itu juga memerlukan harta yang ada di tangannya yang tidak di
perlukannya itu, maka dapat berlaku usaha tukar menukar yang dalam istilah berbahasa
Arab disebut jual-beli. Namun karena apa yang diperlukan seseorang belum sama
dengan apa yang diperlukan orang lain, tentu tidak dapat dilakukan cara tukar
menukar itu. Untuk itu digunakan alat tukar yang resmi dan selanjutnya
berlangsunglah jual-beli dalam arti sebenarnya. Seandainya jual-beli itu tidak
disyari’atkan, manusia akan mengalami kesukaran dalam kehidupannya.[3]
Rukun dan Syarat Jual Beli
1.
Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli) haruslah seorang
yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat
membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).
Seorang
budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali atas izin dari
tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya adalah milik tuannya. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki
harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli mensyaratkan
juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian
pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah jual-belinya, berdasarkan
firman Allah:
وَابْتَلُوا الْيَتَامٰى حَتَّٓى إِذَا بَلَغُوا
النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ
أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’: 6).
2.
Al-‘Aqdu (transaksi/ijab-qabul) dari penjual dan
pembeli.
Ijab (penawaran)
yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Dan
Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau saya beli”.
Di dalam hal ini ada dua
pendapat:
a.
Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i mensyaratkan
mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli, maka tidak sah
jual-beli yang dilakukan tanpa mengucapkan lafaz “saya jual… dan saya beli…”.
b.
Tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam
setiap bentuk jual-beli. Bahkan imam Nawawi -pemuka ulama dalam mazhab Syafi’i-
melemahkan pendapat pertama dan memilih pendapat yang tidak mensyaratkan
ijab-qabul dalam aqad jual beli yang merupakan mazhab maliki dan hanbali.
Dalil
pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat An-Nisa’ hanya
mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak mensyaratkan
mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan pembeli
sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui dengan
adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu membayarnya
tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada riwayat dari
nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan lafaz
tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan.
3.
Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang
dan uang ).
Al-Ma’qud ‘Alaihi memiliki
beberapa syarat:
1)
Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang
dibenarkan syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Nabi shallallahu
alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ
ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu
kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu
Dawud dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan
barang-barang haram sebagai berikut: Minuman keras dengan berbagai macam
jenisnya, bangkai, babi, anjing dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ
وَالأَصْنَامِ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual
beli khamer, bangkai, babi dan patung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam barang-barang yang haram
diperjual-belikan ialah Kaset atau VCD musik dan porno. Maka uang hasil
keuntungan menjual barang ini tidak halal dan tentunya tidak berkah, karena
musik telah diharamkan Allah dan rasul-Nya. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ
وَالْخَمْرَ
وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada diantara umatku sekelompok orang yang
menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR. Bukhari no.5590)
2)
Barang yang dijual harus barang yang telah
dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang
menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.
Diriwayatkan
dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam
tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang, kebetulan
barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang orang
tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi
shallallahu alaihi wasallam menjawab:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ
عِنْدَكَ
“jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!”
(HR. Abu Daud)
3)
Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli,
maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh
orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di udara atau
ikan di kolam yang belum di tangkap, hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Said, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi
shallallahu alaihi wasallam melarang membeli hamba sahaya yang kabur”.
(HR.Ahmad)
4)
Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus
diketahui oleh pembeli dan penjual.
Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau mendengar
penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka bungkusnya
akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka dan selainnya. Maka
sah jual beli tanpa melihat isinya dan si pembeli tidak berhak mengembalikan
barang yang dibelinya seandainya didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di
saat akad jual-beli akan mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak
atau si penjual bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka
yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai contoh padahal
dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang dimilikinya bukan dari
jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk jual-beli gharar (penipuan) yang
diharamkan syariat. Karena nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli
yang mengandung unsur gharar (ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim)
Adapun harga
barang bisa diketahui dengan cara menanyakan langsung kepada si penjual atau
dengan melihat harga yang tertera pada barang, kecuali bila harga yang ditulis
pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga sesungguhnya, ini juga termasuk
jual-beli gharar (penipuan).
Syarat Sah Jual Beli
Agar jual
beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus
dipenuhi beberapa syaratnya terlebih dahulu. Syarat-syarat ini terbagi dalam dua
jenis, yaitu syarat yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan syarat
yang berkaitan dengan objek yang diperjualbelikan:
1.
Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus
memiliki kompetensi untuk melakukan aktivitas ini, yakni dengan kondisi yang
sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Dengan demikian, tidak sah jual
beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang
yang dipaksa.
2.
Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yaitu
sebagai berikut:
·
Objek jual beli harus suci, bermanfaat, bisa
diserahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
·
Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga
pembayarannya, agar tidak terhindar faktor ‘ketidaktahuan’ atau ‘menjual kucing
dalam karung’ karena hal tersebut dilarang.
·
Tidak memberikan batasan waktu. Artinya, tidak sah
menjual barang untuk jangka waktu tertentu yang diketahui atau tidak diketahui.
Beberapa bentuk transaksi jual-beli yang tidak Islami
Transaksi dikatakan tidak Islami bila
tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam fiqh dan terdapat pula larangan
Nabi padanya dan oleh karenanya hukumnya haram. Praktek transaksi ini biasanya
telah berlangsung dkalangan orang Arab sebelum Islam masuk. Di antaranya adalah
sebagai berikut :
1.
Jual-beli
gharar ( الغرر )
Jual-beli gharar adalah
jual-beli ang mengandung unsur-unsur penipuan dan pengkhianatan, baik karena
ketidak jelasan dalam objek jual-beli atau ketidakpastian dalam cara
pelaksanaannya. Hukum jual beli ini adalah haram. Dasar haramnya adalah hadist
Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
نَهَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ
الْغَرَرِ
“Nabi
Muhammad SAW. melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”
Alasan haramnya adalah
tidak pasti dalam objek, baik barang atau uang atau cara transaksinya
itu sendiri. Karena larangan dalam hal ini langsumg menyentuh essensi jual
belinya. Maka disamping haram hukumnya transaksi itu tidak sah.
2.
Jual-beli mulaqih (
الملا قيح )
Jual beli mulaqih
, yaitu jual beli barang yang menjadi objeknya hewan yang masih berada dalam
bibit jantan sebelum bersetubuh dengan betina. seperti mengawinkan seekor domba
jantan dan betina agar dapat memperoleh keturunan, jual beli seperti ini haram
hukumnya karena mengandung unsur kesamaaran didalamnya. Rasulullah saw.
Bersabda :
عَنْ اِبْنِ
عُمَرَ قَلَ نَهَى رَسُوْلُ اللّٰهُ ص م عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ ( رواہ البخارى )
“ Dari Ibnu Umar r.a, berkata Rasulullah telah melarang
menjual mani binatang” (H.R Bukhari)
Alasan pelarangan di si adalah apa
yag diperjual belikan tidak berada di tempat akad dan tidak dapat pula
dijelaskan kualitas dan kuantitasnya. Ketidak jelasan ini menimbulkan ketidak
relaan pihak-pihak. Yang menjadi larangan di sini adalah essensi jual-beli itu sendiri,
maka hukumnya adalah tidak sahnya jual-beli tersebut.
3.
Jual-beli
mudhamin ( المضا مىن )
Jual beli mudhamin
adalah transaksi jual beli yang objeknya adalah hewan yang masih berada dalam perut
induknya. Jual beli seperti ini haram hukumnya karena objek jual beli belum ada
dan tidak tampak.
4.
Jual-beli hushah ( الحصاة ) atau lemparan batu
Jual beli hushah
itu diartikan dengan beberapa arti. Di antaranya jual-beli sesuatu barang
yang terkena oleh lemparan batu yang disediakan dengan harga tertentu. Arti
lain adalah jual-beli tanah dengan harga yang sudah ditentukan, yag luasnya
sejauh yang dapat dikenai oleh batu yang dilemparkan. Hukum jual-beli sepertti
ini adalah haram. Dasar haramnya jual-beli ini adalah hadis Nabi yang melarang
jual beli gharar yang disebutkan diatas. Karena larangan di sini
mengenai essensi jual-beli itu sendiri, maka jual-beli ini tidak sah.
5.
Jual-beli muhaqalah ( الحا قلة )
Jual beli muhaqalah yaitu jual beli
buah-buahan yang masih berada di tangkainya dan belum laya untuk dimakan. Hukum
jual-beli ini adalah haram. Dasar haramnya jual-beli ini adalah hadist Nabi
yang berasal dari Jabir bin Abdullah meurut lima perawi hadist selain Ibnu
Majah dan disahkan oleh al-Tirmizi yang bunyinya:
أن النبى صلى الله عليه و سلم نهى عن ا
لحا قلة و المنا بذة و المخابر ة و عي
الشنيا
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. Melarang jual-beli
muhaqalah, muzabanah, mukhabarah dan tsunaiya”.
6.
Jual-beli
muzabanah
Jual-beli muzabanah
adalah dengan mempertukarkan kurma yang masih basah dengan yang sudah kering
dan mempertukarkan anggur yang masih basah dengan yang sudah kering dengan
menggunakan alat ukur takaran.
Ibnu
majah jilid 2 No. Hadist : 22658
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
رُمْحٍ ، أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عُمَرَ ، قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ عَنِ
الْمُزَابَنَةِ.
وَالْمُزَابَنَةُ : أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ ثَمَرَ حَائِطِهِ إِنْ كَانَتْ نَخْلاً ، بِتَمْرٍ كَيْلاً ، وَإِنْ كَانَتْ كَرْمًا ، أَنْ يَبِيعَهُ بِزَبِيبٍ كَيْلاً ، وَإِنْ كَانَتْ زَرْعًا , أَنْ يَبِيعَهُ بِكَيْلِ طَعَامٍ ، نَهَى عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ.
وَالْمُزَابَنَةُ : أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ ثَمَرَ حَائِطِهِ إِنْ كَانَتْ نَخْلاً ، بِتَمْرٍ كَيْلاً ، وَإِنْ كَانَتْ كَرْمًا ، أَنْ يَبِيعَهُ بِزَبِيبٍ كَيْلاً ، وَإِنْ كَانَتْ زَرْعًا , أَنْ يَبِيعَهُ بِكَيْلِ طَعَامٍ ، نَهَى عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ.
Abdillah berkata Rasullulloh melarang jual beli
dengan cara muzabanah yaitu bila seorang rojul menjual pada kurma basah
(kurma yang masih dipohon) dijual dengan kurma kering (kurma yang sudah
matang). Dan bila ada anggur basah dijual dengan anggur kering. Dan bila ada
gogo (sejenis padi-padian) dijual dengan makanan. Nabi melarang dari demikian
itu semua.
7.
Jual-beli mukhabarah
( المخابر ة )
Jual-beli mukhabarah
adalah muamalah dalam penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa
yang akan dihasilkan oleh tanah tersebut. Hukum transaksi ini adalah haram.
Dasar hukum haramnya adalah hadist Nabi yang disebutkan di atas (no. 5).
8.
Jual-beli tsunayya
( الثنيا )
Yaitu
transaksi jual-beli dengan harga tertentu, sedangkan barang yang jadi objek
jual-beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian yang tidak jelas. Hukum
jual-beli bentuk ini adalah haram; sedangkan dasar hukum haramnya adalah hadist
Nabi yang dikutipp di atas (No. 5)
9. Jual-beli ‘asb al-fahl ( عسب الفحل )
Yaitu
memperjual-belikan bibit pejantan hewan untuk dibiakkan dalam rahim hewan
betina untuk mendapatkan anak. Kadang-kadang disebut juga sewa pejantan. Hukum
transaksi seperti ini adalah haram. Dasar haramnya adalah hadist Nabi dari Ibnu
Umar menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan :
نهى رسول الله عليه و سلم عن عسب
الفحل
Nabi Muhammad SAW. Melarang menjual bibit pejantan.
Alasan pelarangan di sini adalah tidak
jelasnya objek transaksi, karena sukar ditentukan seberapa banyak bibit yang
disalurkan ke rahim betina. Jual-beli dalam bentuk ini tidak sah. Sebagian
ulama melihatnya dari segi lain yaitu kebutuhan umum akan transaksi seperti ini
bagi pengembang biakan ternak. Oleh karena itu memasukkannya kepada bisnis sewa
pembiakan ternak.
10.
Jual-beli mulamasah
( الملا مسة )
Jual beli mulamasah
yaitu jual beli secara sentuh menyentuh. Misalkan seseorang
menyentuh sehelai kain dengan tangannya diwaktu malam atau siang hari, maka
orang yang menyentuh kain tersebut telah membelinya. Jual beli yang seperti ini
haram hukumnya karena mengandung tipuan dan kemungkinan menimbulkan kerugian
pada salah satu pihak.
Hadits Bukhari 2001
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ
عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نُهِيَ عَنْ
لِبْسَتَيْنِ أَنْ يَحْتَبِيَ الرَّجُلُ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ثُمَّ
يَرْفَعَهُ عَلَى مَنْكِبِهِ وَعَنْ بَيْعَتَيْنِ اللِّمَاسِ وَالنِّبَاذِ
Kami dilarang dari libsatain yaitu seseorang
berselimut dengan orang lain dalam satu kain lalu mengangkat kain tersebut
sampai pundaknya & juga melarang mulamasah & munabadzah. (HR. Bukhari No.2001).
11. Jual-beli munabazah
( المنابذة
)
Jual beli munabazah suatu bentuk
transaksi yang masing-masing pihak melemparkan apa yang ada padanya ke pihak
lain tanpa mengetahui kualitas dan kuantitas dari objek yang dijadikan sasaran
jual-beli itu. Bentuk jual beli ini haram. Alasan haramnya jual beli ini adalah
ketidak jelasan objek yang diperjual-belikan yang akan membawa kepada
ketidakrelaan yang menjadi salah satu syarat jual beli. Dengan demikian
hukumnya tidak sah.
Hadits Malik 1176
حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ وَعَنْ أَبِي
الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ قَالَ مَالِك
وَالْمُلَامَسَةُ أَنْ يَلْمِسَ الرَّجُلُ الثَّوْبَ وَلَا يَنْشُرُهُ وَلَا
يَتَبَيَّنُ مَا فِيهِ أَوْ يَبْتَاعَهُ لَيْلًا وَلَا يَعْلَمُ مَا فِيهِ
وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ يَنْبِذَ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ ثَوْبَهُ وَيَنْبِذَ
الْآخَرُ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ عَلَى غَيْرِ تَأَمُّلٍ مِنْهُمَا وَيَقُولُ كُلُّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا هَذَا بِهَذَا فَهَذَا الَّذِي نُهِيَ عَنْهُ مِنْ
الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ
melarang jual beli dengan cara mulamasah & munabadzah. Malik
berkata; Mulamasah ialah seseorang menyentuh pakaian, tak membentangkannya, tak
memperjelas apa yg ada dalam pakaian itu, atau membelinya pada malam hari,
hingga dia tak tahu bagaimana pakaian itu. Sedangkan munabadzah yaitu seseorang
melemparkan bajunya kepada orang lain, & orang lain juga melemparkan
bajunya kepadanya tanpa pertimbangan sama sekali dari keduanya, & setiap
mereka mengatakan; 'ini dijual dgn ini'. Mulamasah & munabadzah dgn cara
inilah yg dilarang. (HR. Malik No.1176).
Hadis riwayat Zaid bin Tsabit ra.:
Bahwa
Rasulullah saw. memberi keringanan kepada pemilik kurma basah untuk menjualnya
dengan cara ditaksir dengan kurma kering. (Shahih Muslim No.2838)
Hadis riwayat Sahal bin Abu Hatsmah ra.:
Bahwa
Rasulullah saw. melarang penjualan kurma basah dengan kurma kering, beliau
bersabda: Demikian itu adalah riba yang ada dalam muzabanah, hanya saja beliau
memberi keringanan dalam penjualan secara Ariah, yaitu satu atas.u dua buah
pohon kurma diambil oleh suatu keluarga dengan cara ditaksir dengan kurma
kering lalu mereka makan buahnya yang masih setengah matang. (Shahih Muslim
No.2842)
12. Jual-beli ‘urban
( العر بان
)
Jual beli ‘urban adalah
jual beli atas suatu barang dengan harga tertentu, dimana pembeli memberikan
uang muka dengan catatan bahwa bila jual beli jadi dilangsungkan akan membayar
dengan harga yang telah disepakati, namun kalau tidak jadi, uang muka untuk
penjual yang telah menerimanya terlebih dahulu.
Hadits ibnumajah 2183
حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ قَالَ بَلَغَنِي عَنْ
عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
melarang jual beli dengan sistem 'Urban (membeli dengan cara panjer,
jika gagal uang tak kembali). (HR. ibnumajah No.2183).
Hadist Nabi dari Amru bin Syu’eb menurut riwayat Malik mengatakan:
نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ
بَيْعِ اَلْعُرْبَانِ
Sesungguhnya
Rasul Allah SAW. Melarang jual-beli ‘urban
13. Jual-beli talqi
rukban ( تلقى
الر كبان )
Jual beli talqi
rukban (الركبان) Adalah jual beli setelah
pembeli datang menyongsong penjual sebelum ia sampai di pasar dan mengetahui
harga pasaran.
قا ل رسول الله عليه و سلم :لا تلقوا الر كبان ولا يبيع حاضر لباد
Rasul Allah SAW. Bersabda: “janganlah kamu
menyongsong penjual dan jangan pula orang kota membeli dari orang dari
pedesaan”.
14. Jual-beli orang
kota dengan orang desa ( بيع حاضرلباد )
Yang dimaksud
disini adalah orang kota yang sudah tahu harga pasaran menjual barangnya pada
orang desa yang baru datang dan belum mengetahui harga pasaran. Larangan
tentang jual-beli bentuk ini adalah sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas
(no. 13).
15. Jual-beli musharrah
( المصرة
)
Musharrah adalah nama hewan
ternak yang diikat puting susunya sehingga kelihatan susunya banyak, hal ini
dilakukan agar harganya lebih tinggi.
Jual-beli dalam bentuk dan
cara ini dilarang oleh Nabi dengan hadistnya dari Abu Hurairah menurut riwayat
yang muttafaq’alaih sabdanya:
لا تصروا الإبل و الغنم فمن ابتاعها فهو بخير النظرين بعد أن يحلبها إن شء أمسك و إن شاء ردها و صاعامن تبر
Janganlah kamu mengikat susu unta atau kambing. Siapa yang membelinya, dia
boleh memilih sesudah diperahnya. Bila dia suka bleh dia mengambilnya dan bila
tidak mau, harus dikembalikan berikut satu sha’ kurma.
Hadits ibnumajah 2230
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَا حَدَّثَنَا
أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
ابْتَاعَ مُصَرَّاةً فَهُوَ بِالْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ رَدَّهَا
رَدَّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ لَا سَمْرَاءَ يَعْنِي الْحِنْطَةَ
Barang siapa membeli Musharrah, maka
ia punya hak pilih selama tiga hari. Jika ingin mengembalikan, hendaklah ia
kembalikan dengan menyertakan satu sha' kurma & bukan samra, yakni gandum.
[HR. ibnumajah No.2230].
16. Jual-beli shubrah
( الصبرة
)
Jual beli shubrah
adalah jual beli barang yang ditumpuk yang mana bagian luar terlihat lebih baik
dari bagian dalam. Larangan jual-beli dalam bentuk ini berdasarkan kepada
hadist Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم مر على صبرة من طعام فأ د خل يده فيها فنالت أصابعه بللا
فقال ما هذا
يا صاحب الطعام ؟ قال أصابته السماء يارسوالله، قال:أفلا جعلته فو ق الطعام
كى ير اه النس، من غش فليس مني
Sesungguhnya Rasul Allah SAW.
Pernah lalu dekat setumpukan makanan, lalu dimasukannya tangannya ke dalam
tumpukan tersebut. Ditemukannya di dalam basah. Beliau berkata: “Ada apa ini
hai penjual makanan?” Penjual berkata: “Itu dikenai hujan ya Rasul Allah” Nabi
berkata: “kenapa yang basah itu tidak kamu letakkan di atas supaya dilihat oleh
pembeli?, siapa yang menipu tidaklah termasuk umatku”.
17. Jual-beli najasy
( النجش
)
Jual beli najasy jual
beli yang bersifat pura-pura dimana si pembeli menaikkan harga barang , bukan
untuk membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lainnya agar membeli dengan harga
yang tinggi.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ نَهَى النَّبِىُّ - صلى الله
عليه وسلم - عَنِ النَّجْشِ
Dari Ibnu Umar, Nabi melarang jual beli najasy [HR Bukhari dan Muslim].
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. melarang sistem penjualan
najasy (meninggikan harga untuk menipu). (Shahih Muslim No.2792)
Hadits Nasai 4429
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ
النَّجْشِ
Beberapa Jual Beli yang Sah, Tetapi
DiLarang
Mengenai
jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa cara
saja sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebab
timbulnya larangan adalah:
1.
Menyakiti si
penjual, pembeli, atau orang lain
2.
Menyempitkan
gerakan pasaran
3.
Merusak
ketenteraman umum.
Lalu, apa
sajakah jual-beli yang sah tapi dilarang itu?
1.
Membeli
barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan dia tidak
menginginkan barang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat
membeli barang itu. Dalam hadits diterangkan bahwa jual beli yang demikian itu
dilarang.
2.
Membeli
barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar. Apa itu
khiyar? Khiyar artinya "boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual
beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli)". Diadakan
oleh syara' agar kedua orang yang berjual beli dapat memiliki kemaslahatan
masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan
di kemudian hari lantaran merasa tertipu.
Sabda
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam: Dari Abu Hurairah, "Rasulullah
Shollallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, 'Janganlah di antara kamu menjual
sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain." (Sepakat ahli hadits).
3.
Mencegat orang-orang
yang datang dari desa di luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka
sampai ke pasar dan sewaktu mereka belum mengetahui harga pasar.
Sabda
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam:
Hal ini
tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang, dan
mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai ke pasar.
4.
Membeli
barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan
masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat merusak
ketenteraman umum.
Sabda
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam:
"Tidak ada orang yang menahan barang kecuali
orang yang durhaka (salah)". (Riwayat Muslim).
5.
Menjual
suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang
membelinya.
"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran." (Al-Maidah:2)
6.
Jual beli
yang disertai tipuan. Berarti dalam urusan jual beli itu ada tipuan, baik dari
pihak pembeli maupun dari penjual, pada barang dagangan ataupun ukuran dan
timbangannya.
Dari Abu
Hurairah, "Bahwasanya Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam pernah
melalui suatu onggokan makanan yang bakal dijual, lantas beliau memasukkan
tangan beliau ke dalam onggokan itu, tiba-tiba di dalamnya jari beliau meraba
yang basah. Beliau keluarkan jari beliau yang basah itu seraya
berkata,"Apakah ini?" Jawab yang punya makanan,"Basah karena
hujan, ya Rasulullah." Beliau bersabda,"Mengapa tidak engkau taruh di
bagian atas supaya dapat dilihat orang? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan
umatku." (Riwayat Muslim).
Dalam hadits
tersebut jelaslah bahwa menipu itu harga, berdosa besar. Semua ulama sepakat
bahwa perbuatan itu sangat tercela dalam agama, menurut akal pun tercela.
Jual beli tersebut dipandang sah,
sedangkan hukumnya haram karena kaidah ulama fiqih berikut ini: Apabila
larangan dalam urusan muamalat itu karena hal yang diluar urusan muamalat,
larangan itu tidak menghalangi sahnya akad.
Beberapa Jual Beli yang Terlarang
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا
نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ , فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah: 9-10).
Perintah meninggalkan jual beli dalam ayat ini menunjukkan terlarangnya jual
beli setelah dikumandangkannya azan Jum’at.
Jumhur
(mayoritas) ulama berpendapat bahwa larangan jual beli ketika azan Jum’at
berarti haram. Demikian pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Kapan Dimulai Larangan Jual Beli?
Sebagaimana
disebutkan dalam ayat di atas, larangan dimulai saat azan. Namun azan yang
dimaksud apakah azan yang pertama ataukah kedua? Di sini ada beda pendapat.
Perlu
diketahui bahwa adzan kedua sebelum shalat Jum’at adalah adzan yang diterapkan
oleh khulafaur rosyidin. Sehingga tidak perlu diingkari. Demikian nasehat guru
kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah. Azan pertama di hari Jum’at ini
ditambahkan di masa ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, salah seorang khulafaur rosyidin.
Terdapat dalam hadits As Saib bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ
زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ ” قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ
الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
“Dahulu azan pada hari Jum’at
dilakukan di awal ketika imam di mimbar. Ini dilakukan di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Namun di masa
‘Utsman radhiyallahu ‘anhu karena saking banyaknya jama’ah, beliau menambahkan
azan sampai tiga kali di Zawro’.” Abu ‘Abdillah berkata, “Zawro’ adalah salah
satu tempat di pasar di Madinah.” (HR. Bukhari no. 912).
Yang
dimaksudkan azan sampai tiga kali di sini adalah karena di saat shalat Jum’at
ada tiga kali azan. Azan pertama yang ditambahkan di masa ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu. Azan kedua adalah azan ketika khutbah. Azan ketiga adalah ketika iqomah.
Iqomah disebut pula azan sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin
Mughoffal Al Muzani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ
كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ
“Di antara dua azan terdapat
shalat (sunnah)” (HR. Bukhari no. 624 dan Muslim no. 838).
Jumhur
ulama berpendapat bahwa azan mulai terlarangnya jual beli adalah azan kedua.
Karena di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya ada sekali azan, yaitu saat imam
duduk di mimbar. Adzan kedua inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah pada
surat Jumu’ah di atas. Jika jual beli dilakukan pada saat azan kedua ini akan
melalaikan para pembeli dan pedagang dari shalat, bahkan bisa sampai luput
seluruh atau sebagiannya.
Ibnu
Qudamah dalam Al Mughni (2: 145) berkata, “Azan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah
azan setelah imam duduk di mimbar. Maka hukum dikaitkan dengan azan kedua
tersebut, sama saja apakah azan tersebut sebelum atau sesudah zawal (matahari
tergelincir ke barat).”
2.
Jual beli di lingkungan masjid
Dari
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَقُولُوا: لاَ
أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُم مَنْ يُنْشِدُ فِيْهِ ضَالَةً
فَقُولُوا: لاَ رَدَّ الههُ عَلَيْكَ
“Bila engkau mendapatkan orang yang
menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah kepadanya: ‘Semoga Allah
tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu.’ Dan bila engkau menyaksikan
orang yang mengumumkan kehilangan barang di dalam masjid, maka katakanlah
kepadanya, ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barangmu yang hilang.’” (HR. Tirmidzi, no. 1321. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dahulu,
Atha’ bin Yasar bila menjumpai orang yang hendak berjualan di dalam masjid,
beliau menghardiknya dengan berkata, “Hendaknya engkau pergi ke pasar dunia,
sedangkan ini adalah pasar akhirat.” (HR. Imam Malik dalam al-Muwaththa’, 2:
244, no. 601)
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Janganlah kalian saling tolong
menolong dalam dosa dan melanggar batasan Allah” (QS. Al Maidah: 2)
Dari Abdullah bin Buraidah dari
ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ حَتَّى يَبِيعَهُ مِنْ
يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا
فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ
“Siapa saja yang menahan anggur
ketika panen hingga menjualnya pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut
menjadi khomr, maka dia berhak masuk neraka di atas pandangannya”
(HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa
sanad hadits ini hasan)
Hal- hal yang membatalkan jual beli
Apabila seorang menjual budak dengan syarat
dimerdekakan, jual belinya sah. Demikian menurut maliki , syafi'i dan hambali.
Adapun menurut hanafi yang termansyuh tidak sah.
Para imam madhab sepakat bahwa menjual
seorang budak dengan syarat wala' ( menerima pusaka karena memerdekakan budak
yang dimiliki atau sebab sumpah setia )
tetapi di pengang oleh penjualnya hukumnya tidak sah. Apabila seseorang menjual
sesuatu dengan suatu syarat yang dapat merusak atau bertentangan dengan tujuan
jual beli, seperti membeli kain dengan syarat di jaitkan atau membeli rumah
dengan syarat jangan di diami oleh pembelinya,maka penjualan seperti itu tidak
sah. Demikian menurur hanafi dan syafi'i.
Menerima sesuatu yang dibeli dengan penjualan yang
tidak sah tidak mengalihkan hak pemeliknya benda yang di beli bagi pembeli.
Demikian menurut maliki, syafii dan hambali. Hanafi berpendapat : pabila oleh pembeli, dengan
izin penjual, di tentukan harganya yang pantas,
sudah tentu pembeli memilikinya sengan menerima menurut harganya. Kemudian
penjual boleh mengambil kembali benda yang telah di jual itu dengan mengambil
faedah- faedah yang di peroleh darinya, lecuali jika benda tersebut telah
digunakan oleh pembeli dengan cara yang tidak memungkinkan lagi di kembalikan.
Jika demikian, penjual mengambil harganya.
Perselisihan dalam Jual Beli dan Kerusakan
Barang
Apabila terjadi perselisihan antara penjual
dan pembeli dalam masalah harga, dan keduanya mempunyai bukti atas pengakuan
masing-masing, hendaknya, mereka bersumpah. Demikian menurut pendapat para imam
madhab. Orang yang di sumpah pertama kali adalah penjual. Demikian menurut
pendapat yang paling sahih dalam madhab syafii . Sedangkan menutut hanafi, hendaknya
yang pertama di sumpah adalah pembeli.
Apabila barang yang di beli sudah rusak,
lalu terjadi perseliaihan soal harganya, keduanya di sumpah. Demikian menurut
syafii . Kemudian, jual beli nya di batalkan. Jika barang tersebut bisa di
jual, hendaknya di bayar menurut harganya. Adapun jika barang tetsebut ada pada
penjual, hendaknya di berikan bandingannya itu oleh pembeli. Demikian juga
menutur salah satu riwayat hambali dan maliki.
Sedangkan pendapat hanafi, jika barang sudah rusak, tidak perlu di sumpah, dan
perkataan atau pengakuaan yang di benarkan adalah pengakuan pembeli.
Jika yang di jadikan pwrseliaihan adalah
masalah syarat penangguhan pembayaran atau jangka waktunya, atau masalah
syarata khiyar atau jangka waktunya , keduanya di sumpah. Demikian menurut syafii dan
maliki. Sedangkan pendapat hanafi dan hambali : tidak ada sumpah dalam
syarat-syarat ini, dan pengakuan yang di terima adalah pengakuan meniadakan.
Apabila seseorang menjual sesuatu barang
dengan harga yang berada dalam tanggung jawab pembeli, lalu mereka berselisih,
kemudian penjual berkata " aku tidak akan menyerahkan barang ini sebelum
aku terima bayarannya", pembeli mengatakan " aku belum mau membayar
harga sebelum menerima barang", maka
dalam hal ini syafii memiliki beberapa pendapat , dan pendapat yang paling
sahih adalah penjual di paksa untuk menyerahkan barang dan pembeli di paksa
untuk membayar harganya.
B. Riba ( الر ب )
Menurut bahasa riba berarti tambahan (al-ziyadah) sedangkan
menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok sebagai
syarat terjadinya suatu taransaksi. Sedangkan menurut Al Jurjani merumuskan
riba sebagai kelebihan / tambahan pembayaran tanpa ada ganti / imbalan, yang
disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).
Beberapa
ahli memberikan pengertian riba seperti sebagai berikut:
1.
Muhammad
ibnu Abdullah ibnu al-Arabi al-Maliki, dalam kita Ahkam al-Qur'an,
memberikan pengertian riba, yaitu secara bahasa adalah tambahan, namun yang
dimaksud riba dalam al-Qur'an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya
suatu 'iwad (penyeimbang/pengganti) yang dibenarkan syariah.
2.
Badr ad-Dien
al-Ayni, dalam kita Umdatul Qari, menjelaskan bahwa prinsip utama riba
adalah penambahan. Menurut syariah, pengertian riba adalah penambahan atas
harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.
3.
Imam
Sarakhsi, dalam kitab al-Mabsul, memberikan pengertian riba adalah
tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya 'iwadh (padanan)
yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Dalam Islam,
memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram.
Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
وَأَحَلَّ
اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
“ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Adapun dalil
yang terkait dengan perbuatan riba, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di
antara ayat tentang riba adalah sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ ٱلرِّبَوٰٓا۟ أَضْعَٰفًۭا مُّضَٰعَفَةًۭ ۖ
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan. (QS Ali Imran : 130).
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 275-279:
ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌۭ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. (QS
AL-Baqarah: 275).
يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟
وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS
Al-Baqarah : 276).
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟
إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. (QS Al-Baqarah : 278).
فَإِن لَّمْ
تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. QS Al-Baqarah : 279.
وَمَآ
ءَاتَيْتُم مِّن رِّبًۭا لِّيَرْبُوَا۟ فِىٓ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ فَلَا يَرْبُوا۟
عِندَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ ءَاتَيْتُم مِّن زَكَوٰةٍۢ تُرِيدُونَ وَجْهَ ٱللَّهِ
فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya). (QS. Rum : 39).
Dan di antara hadits yang terkait dengan riba adalah :
لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : آكِلَ الرِّبَا ،
وَمُوكِلَهُ ، وَكَاتِبَهُ ، وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir r.a Rasulullah SAW telah melaknat
(mengutuk) orang yang makan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya. HR.
Muslim.
Hadis Nabi Muhammad SAW. Bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian
7 perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya
Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan
harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang
baik-baik berbuat zina”.
Macam-macam Riba
1.
Riba Fadl (Jual Beli)
Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran
barang ribawi yang sejenis, namun berbeda kadar atau takarannya. Contoh: 20 kg beras
kualitas bagus, ditukar dengan 30 kg beras kualitas menengah.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ
جَاءَ بِلاَلٌ إِلَى النَّبِيِّ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ هَذَا قَالَ بِلاَلٌ كَانَ عِنْدَنَا
تَمْرٌ رَدِيٌّ فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِنُطْعِمَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا عَيْنُ الرِّبَا لاَتَفْعَلْ
وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ فَبِعِ التَّمْرَ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ
اشْتَرِهِ*رواه البخاري كتاب البيوع
Dari
Abu Sa’id, ia berkata:” Datang Bilal ke Nabi saw dengan membawa kurma barni
(kurma kualitas bagus) dan beliau bertanya kepadanya: ”Darimana engkau
mendapatkannya? ”Bilal menjawab: ”Saya mempunyai kurma yang rendah mutunya
dan menukarkannya dua sha’ dengan satu sha’ kurma barni untuk dimakan oleh Nabi
saw..” Ketika itu Rasulullah saw bersabda: ”Hati-hati! Hati-hati! Ini aslinya
riba, ini aslinya riba. Jangan kamu lakukan, bila engkau mau membeli kurma maka
juallah terlebih dahulu kurmamu yang lain untuk mendapatkan uang dan kemudian
gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma barni!
Penjelasan:
Barang-barang
ribawi itu ada 6, yaitu: 2 berupa mata uang terdiri dari emas dan perak (dan
semua yang dikiyaskan kepada keduanya seperti mata uang rupiah, ringgit, dolar
dan lainnya pen.). Dan yang empat berupa makanan yaitu kurma, gandum,
jawawut/sya’ir sejenis gandum (dan semua yang dikiaskan kepada ketiganya
sebagai makanan pen.) dan garam, berdasarkan dalil:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ ، وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ ، مِثْلا
بِمِثْلٍ ، يَدًا بِيَدٍ ، فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى ، الآخِذُ
وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ “(أخرجه مسلم ( ٣ / ١٢١١ ) .
Artinya
: Dari Abu Sa’id al Hudriyi dari Rasulullsh s.a.w. Beliau bersabda:
Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jawawut/gandum
dengan jawawut/gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam semisal
dengan semisal, kontan dengan kontan, maka barang siapa yang menambah atau
minta tambahan sungguh dia telah melakukan riba, orang yang mengambil dan orang
yang memberi di dalam riba itu sama saja.
2.
Riba Nasi’ah
Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran
barang ribawi tidak sejenis yang dilakukan secara hutangan (tempo). Atau dengan
kata lain terdapat penambahan nilai transaksi yang diakibatkan oleh perbedaan
atau penangguhan waktu transaksi. Riba nasi’ah dikenal dengan istilah riba
jahiliyah karena berasal dari kebiasaan orang Arab jahiliyah, yaitu apabila
memberi pinjaman lalu sudah jatuh tempo, berkata orang Arab: “mau dilunasi atau
diperpanjang?”. Jika masa pinjaman diperpanjang modal dan tambahannya diribakan
lagi.
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ
عَبَّاسٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الرِّبَا فِي النَّسِيئَةِ رواه مسلم
Artinya:
Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: sesungguhnya riba ada di dalam pinjaman
(nasi’ah)
عن أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الرِّبَا فِي النَّسِيئَةِ* رواه ابن ماجه
تحقيق الألباني : صحيح
Artinya: Dari
Usamah bin Zaid, sesungguhnya Rasululah saw bersabda: ”Sesungguhnya riba
ada di dalam pinjaman(nasi’ah).” (HR Ibnu Majah, Kitab at-Tijarat)
عَنْ أَبِى الْمِنْهَالِ قَالَ سَأَلْتُ الْبَرَاءَ ابْنَ
عَازِبٍ وَزَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا عَنِ الصَّرْفِ فَكُلُّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَقُولُ هَذَا خَيْرٌ مِنِّي فَكِلاَهُمَا يَقُولُ نَهَى
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْوَرِقِ
دَيْنًا * رواه البخاري كتاب البيوع
Artinya: Dari
Abi Minhal, ia berkata: Aku bertanya pada Baro’bin Azib dan Zaid bin Arqom
tentang tukar menukar mata uang, maka masing-masing dari keduanya
berkata: ”Ini lebih baik dariku ” dan masing-masing
berkata: ”Rasulullah saw melarang menjual emas dengan perak secara
hutang.”
Contoh
riba nasi’ah: bunga bulanan atau tahunan di bank konvensional; mengambil
keuntungan atau kelebihan atas pinjaman uang yang pengembaliannya ditunda.
3.
Riba Qardh
Riba yang muncul akibat adanya tambahan atas pokok pinjaman
yang dipersyaratkan di muka oleh kreditur atau shahibul maal kepada
pihak yang berutang (debitur), yang diambil sebagai keuntungan.
Contoh: shahibul maal memberi pinjaman uang kepada debitur Rp. 10
juta dengan syarat debitur wajib mengembalikan pinjaman tersebut sebesar Rp. 18
juta pada saat jatuh tempo.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الرِّبَا فِي الدَّيْنِ قَالَ عَبْدُ اللهِ
مَعْنَاهُ دِرْهَمٌ بِدِرْهَمَيْنِ *رواه الدارمي كتاب البيوع
Artinya: Dari
Usamah bin Zaid, sesungguhnya Rasululah saw bersabda: ”Sesungguhnya riba
berada pada utang.” Abdillah berkata: yang dimaksud Nabi yaitu satu dirham
(dibayar) dua dirham.
4.
Riba Jahiliyah
Riba yang muncul akibat adanya tambahan persyaratan dari
kreditur atau shahibul maal, di mana pihak debitur diharuskan membayar
utang yang lebih dari pokoknya, karena ketidakmampuan atau kelalaiannya
(default) dalam pembayaran saat utang telah jatuh tempo. Contoh: debitur
memiliki utang senilai Rp. 10 juta, jatuh tempo 1 Desember 2011. Namun sampai
dengan tanggal tersebut, debitur tidak mampu membayar. Akhirnya pihak kreditur
membuat syarat, jangka waktu pinjaman dapat diperpanjang, tetapi jumlah utang
bertambah menjadi Rp. 15 juta.
حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّهُ قَالَ
كَانَ الرِّبَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ
الْحَقُّ إِلَى أَجَلٍ فَإِذَا حَلَّ الأَجَلُ قَالَ أَتَقْضِي أَمْ تُرْبِي
فَإِنْ قَضَى أَخَذَ وَإِلاَّ زَادَهُ فِي حَقِّهِ وَأَخَّرَ عَنْهُ فِي الأَجَلِ
*رواه مالك كتاب البيوع
Artinya: Dari
Malik dari Zaid bin Aslam, ia berkata: Riba pada zaman jahiliyah yaitu bahwa
ada seorang laki-laki, memiliki suatu kewajiban (utang) pada laki-laki (yang
lain) untuk jangka waktu tertentu. Maka ketika telah jatuh tempo, yang
memberikan pinjaman (kreditur) berkata: Apakah kamu mau membayar atau memberi
tambahan (pembayaran). Maka ketika debitur membayar, kreditur menerima
(pembayaran), dan jika tidak membayar, maka debitur menambah haknya kreditur,
dan kreditur memperpanjang sampai waktu tertentu.
5.
Riba yad
Riba yang muncul akibat adanya jual-beli atau pertukaran
barang ribawi maupun yang bukan ribawi, di mana terdapat perbedaan nilai
transaksi bila penyerahan salah satu atau kedua-duanya diserahkan dikemudian
hari. Dengan kata lain, pada riba yad terdapat dua persyaratan dalam transaksi
tersebut yaitu satu jenis barang dapat diperdagangkan dengan dua skema yaitu
kontan dan kredit. Contoh: harga mobil baru jika dibeli tunai seharga Rp. 100
juta, dan Rp. 150 juta bila mobil itu dibeli secara kredit dan sampai dengan
keduanya berpisah tidak ada keputusan mengenai salah satu harga yang
ditawarkannya .
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلاَ
بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ *رواه النسائي كتاب البيوع (تحقيق الألباني :حسن صحيح)
Artinya: Dari
Abdullah bin Umar dari Nabi saw, beliau bersabda: ”Tidak halal
pinjaman dan jual-beli, tidak juga dua syarat dalam satu jual-beli, dan tidak
boleh menjual barang yang tidak ada padamu.
Hukum Riba
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik
yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta
riba dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah
diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan
keharaman riba dalam berbagai bentuknya, dan seberapun banyak ia dipungut.Allah
swt berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا
يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ
فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat),
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. QS
Al-Baqarah ayat 275.
Dan diteruskan juga pada surat AL-Baqarah ayat 279
yang berbunyi sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. QS Al-Baqarah 279.
Di dalam hadis Nabi Muhammad saw menyatakan:
دِرْهَمُ رِبَا
يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu
adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. HR Ahmad
dari Abdullah bin Hanzhalah.
عَنَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba,
penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. HR Muslim
Imam al-Shan’aniy juga menulis dalam Kitab
Subul al-Salaam yang mengatakan seluruh umat telah bersepakat atas
haramnya riba secara global. Karna riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk
sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya,
Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan
penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang
terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan
bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum
khamer. Dan Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy menyatakan kaum Muslim
sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.
Mahammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayaat
Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan antara kaum
muslim atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba
fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan
Al-Qur’an: sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits
shahih .Dan Abu Ishaq juga menulis di dalam Kitab al-Mubadda’
yang menyatakan keharaman riba telah menjadi konsensus,
berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Dampak dan Hikmah Pelarangan Riba
Banyak pakar
muslim yang menyatakan bahwa pelarangan riba oleh Islam memiliki 2 dimensi :
1.
Menghadirkan
akad bisnis dan komersial dengan pembagian risiko yang setara
2.
Menganggap
tindakan pemberian pinajaman sebagai tidakan kebajikan dengan alasan untuk
membantu seseorang yang sedang membutuhkan.
Menurut
yusuf qardhawi, para ulama telah menjelaskan panjang lebar hikmah diharamkannya
riba secara rasional, antara lain :
a.
Allah SWT
tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, tetapi hanya
mengharamkan apa yang sekiranya dapat membawa kerusakan baik individu maupun
masyarakat.
b.
Cara riba
merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungann yang di peroleh si
pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya. Keuntungannya
diperoleh dengan cara memeras tenaga orang lain yang pada dasarnya lebih lemah
dari padanya.
c.
Keharaman
riba dapat membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini
mengandung pesan moral yang sangat tingggi.
d.
Biasanya
orang yang memberi utang adalah orang yang kaya dan orang yang berutang adalah
orang miskin. Mengambil kelebihan utanag dari orang yang miskin sangat
bertentangan dengan sifat rahmah Allah swt. Hal ini akan merusak sendi-sendi
kehidupan sosial.
C.
Khiyar
Kata al-khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan.[6] Khiyar secara bahasa
adalah kata nama dari ikhtiyar yang berarti mencari yang baik dari dua urusan
baik meneruskan akad atau membatalkannya. Sedangkan menurut istilah kalangan
ulama fiqih yaitu mecari yang baik dari dua urusan yang baik berupa meneruskan atau
membatalkannya. Pembahasan al – khiyar dikemukakan para ulama fiqh dalam
permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi
ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi
(akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.
Macam-macam
Khiyar
Terdapat beberapa pendapat ulama
mengenai macam-macam kkhiyar itu sendiri sesuai dengan perspektif masing-masing
dalam mengklasifikasikan jenis-jenis khiyar, di antara pendapat tersebut adalah
sebagi berikut :
1.
Khiyar
majlis
Secara bahasa majelis berarti tempat
duduk,bila dikaitkan dengan khiyar maka memilki arti hak untuk meneruskan
atau membatalkan jual beli selama penjual dan pembeli belum berpisah atau
keduanya mesih bersama-sama ditempat tersebut, seperti yang ditegaskan
rasulullah dalam beberapa hadistnya diantaranya:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ
صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ
يَسْتَقِيلَه
“Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar
selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka
seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir
dibatalkan.”
Begitu juga sabda nabi :
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ;
أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلْبَائِعُ وَالْمُبْتَاعُ
بِالْخِيَارِ حَتَّى يَتَفَرَّقَا, إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ, وَلَا
يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ
إِلَّا اِبْنَ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ
اَلْجَارُودِ. وَفِي رِوَايَةٍ: ( حَتَّى يَتَفَرَّقَا مِنْ مَكَانِهِمَا )
Dari Amar
Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Penjual dan pembeli mempunyai hak
khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan
masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-beli
dibatalkan.” Riwayat Imam Lima kecuali IbnuMajah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah,
dan Ibnu al-Jarus.Dalam suatu riwayat: “Hingga keduanya meninggalkan tempat
mereka.”
Batas
Berlakunya Khiyar Majlis
Berdasarkan hadist di atas, dapat
disimpulkan bahwa rosulullah tidak menentukan atau menetapkan makna perpisahan
yang menjadi batasan selesainya transaksi,apakah ketika mereka berpindah dari
majelis ataukah saling berpisah badan atau hanya pada adanya kesepakatan
berakhirnya akad.
Mengenai masalah ini As-suyuthi berkata,” ulama ahli fiqh menyatakan :setiap
hal yang disebutkan secara mutlak dan tidak disebutkan batasannya dalam syariat
dan tidak juga dalam syariat maka pembatasanya dikembalikan kepada ‘urf”.
Dari sini dapat diambil keimpulan
bahwa batasan dari khiyar majelis itu diserahkan kepada ‘urf masing-masing.
Hikmah ditetapkannya Khiyar Majlis
Disyariatkannya hak pilih macam (khiyar majelis) ini
guna menutup atau memperkecil pintu-pintu penyesalan pihak-pihak yang terlibat
dalam transaksi jual-beli.Sebab sering kali seseorang terlalu tertarik atau
juga terpengaruh terhadap suatu hal sehingga ia terburu-buru dalam memutuskan
untuk membeli atau menjual sesuatu tanpa mepertimbangkan manfaat atau
kerugiannya,sehingga setelah transaksi terjadi ada pihak yang merasa kurang
diutungkan,dan kemudian menimbulkan rasa kebencian terhadap saudaranya atau hal
yang serupa. Sehingga tercapailah salah satu syarat jual beliyaitu adanya rasa
suka sama suka dapat terwujud dengan sempurna,sehingga keduanya terhindar dari
larangan Allah Ta’ala dalam firmanya :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-Nissa’:29)
2.
Khiyar
Syarat
Pengertian
khiyar syarat menurut ulama fiqih adalah:
“suatu keadaan yang membolehkan salah
seorang yang melakukan akad atau masing-masing akid atau selain kedua pihak
yang akad memilikil hak pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang
ditentukan.” Misalnya seorang pembeli berkata,” Saya beli dari kamu barang
ini,dengan catatan saya ber-khiyar (mempertimbangkan) selama sehari atau tiga
hari.”
Seperti sabda nabi yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari:
إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ
خِلاَبَة
”Jika kamu menjual sesuatu, maka katakan tidak ada
penipuan.” (HR. Bukhari).”
Di syariatkannya khiyar syarat ini
berdasarkan hadist nabi yang telah tersebut di atas yaitu :
“Dan
bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan.kemudian mereka berjual beli
dengan asas pilihan yang ditawarkan tersebut maka selesailah akad jual beli
tersebut.”
Sebagian ulama menafsirkan hadis ini : Bahwa bila salah satu
dari keduanya memberikan tawaran berupa pilhan kepada lawan transaksinya untuk
memperpanjang masa berlakunya hak pilih ini, kemudian mereka menyetujuinya,
maka akad jual beli selesai, sesuai dengan tawaran tersebut dan penafsiran ini
selaras dengan prinsip suka sama suka, sebab prinsip ini dikembalikan seutuhnya
kepada kedua belah pihak yang bertransaksi.
Jumhurul ulama sepakat (ijma’) bahwa boleh bagi orang yang
berjual-beli melakukan transaksi semacam ini.
Batas
maksimal khiyar syarat
Dalam menentukan
batas maksimal khiyar syarat para ulama berselisih pendapat sesuai dengan
metode ijtihad masing-masing yaitu :
a. Madzhab hambali : masing-masing penjual
dan pembeli berhak menetapkan persyaratan sesuka mereka, tanpa ada batas
waktu.mereka beralasan bahwa hak mengadakan persyaratan adalah hak mereka
berdua, sehingga bila keduanya rela mengadakan syarat hak untuk membatalkan
dalam waktu lama, maka itu terserah kepada mereka berdua karena tidak ada dalil
yang membatasinya
b. Madzhab Hanafi dan Asy-Syafi’I: Lama hak
yang dipersyaratkan tidak boleh lebih dari tiga hari, mereka mengambil dalil
dari perkataan umar bin khattab berikut :
Umar bin Khattab berkata, ”Aku tidak
mendapatkan dalil yang menetapkan adanya persyaratan yang lebih lama di banding
yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW untuk Habbban bin Munqiz, beliau menetapkan
untuknya hak pilih selama tiga hari, bila ia suka ia meneruskan pembeliannya, dan
bila tidak suka, maka ia membatalkannya,” (HR.Ad-Daruquthni dan Ath-Thabrani,dan
dilemahkan oleh Hafidz ibnu Hajar)
c. Madzhab Maliki yang dikuatkan oleh
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah :
Lama hak pilih yang di syaratkan boleh lebih dari tiga hari sesuai dengan
kebutuhan dan barang yang diperjual belikan,mereka beralasan bahwa hak semacam
ini demi kemaslahatan masing-masing pihak yakni kemslahatan yang berkaitan
dengan barang yang mereka perjual-belikan,sehingga harus disesuaikan dengan
keadaan barang tersebut.
3.
Khiyar Aib/Cacat
Khiyar aib adalah :
Asy-Syarbini
berkata, “Khiyar cacat ialah
khiyar yang disyariatkan karena tidak terwujudnya kriteria yang diinginkan pada
barang baik diinginkan menurut kebiasaan masyarakat atau karena ada persyaratan
atau karena ada praktek pengelabuhan. Dan yang dimaksud dengan kriteria yang
diinginkan menurut kebiasaan masyarakat ialah tidak adanya cacat pada barang
tersebut.”
Dasar
hukumnya adalah :
1. Hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir
Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ
عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ
“Sesama
muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada
muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia
harus menjelaskan (aib/cacat)nya itu”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah,
Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata di
dalam Fathul Bari, “Isnadnya jayyid (bagus)”. Lihat Majma’ Az-zawaid IV/80, dan
Nailul Authar V/211).
2.
Dan
di dalam riwayat yang lain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
مَنْ غَشَّ
فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa
yang berbuat menipu, maka dia bukan termasuk golongan kami”. (HR. Muslim
I/98 no. 101, 102, dari hadits Abu Hurairah).
Dan
juga hadits Rasululloh yang berbunyi :
“Dari Aisyah R.A. : Bahwa ada seorang lelaki
yang membeli seorang budak, kemudian ia memperkerjakannya, lalu ia mendapatkan
pada budak tersebut suatu cacat, sehingga ia mengembalikannya (kepadda
penjual). Maka penjual mengadu kepada Rasululloh dan berkata : Wahai
Rasululloh, sesungguhnya ia telah memperkerjakan buidakku? Maka beliu bersabda
: “Keuntungan itu addalah tanggungjawab atas jaminan,”(HR. Abu Dawud,
At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqy dan dihasankan oleh Al-Albani)
Sebagian ulama mengungkapkan
definisi aib atau cacat yang dimaksud adalah: “ Setiap hal yang menyebabkan
berkurangnya harga suatu barang.”
Dari definisi dan juga penjelasan sebelumnya dapat
dipahami bahwa cacat yang dapat menjadi alasa untuk membatalkan penjualan
adalah cacat yang terjadi pada barang sebelum terjadinya akad penjualan, atau
disaat sedang akad penjualan berlangsung atau sebelum barang
diserah-terimakan kepada pembeli.
4.
Khiyar
Ru’yah
Yaitu khiyar bagi pembeli untuk
menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan tehadap suatu objek
yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.
Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama hanafiya,
malikiyah, Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru’yah
disyari’atkan dalam islam berdasrkan sabda Rasullah SAW, yang menyatakan:
ﻤﻦ ﺍﺸﺗﺭﻯ ﺸﻳﺌﺎ ﻠﻢ ﻳﺭﻩ ﻓﻬﻭ
ﺒﺎﻠﺨﻳﺎَﺭﺇِﺬﺍﺭَﺁﻩََُ ( ﺭﻭﺍﻩﺍﺭﻗﻄﻰﻋﻦﺃﻫﺭﻴﺭﺓ)
“Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia
lihat maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu”. (HR. Dar
al-Quthni dari Abu Hurairah).
Akad seperti ini, menurut mereka
boleh terjadi, disebabkan objek yang akan dibeli itu tidak ada di tempat
berlangsungnya akad, atau karena sulit dilihat seperti membeli HP yang masih
baru, yang oleh penjualnya tidak boleh dibuka.
5.
Khiyar
Ta’yin
Yaitu hak
pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitasnya dalam jual
beli. Contoh, pembelian keramik: ada yang bekualitas super dan ada yang
berkualitas sedang. Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti mana
keramik yang super berkualitas sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia
memerlukan ahli keramik dan arsitek. Menurut ulama Hanafiyah khiyar ini boleh,
dengan alasan bahwa produk sejenis yang beda bebeda kualitasnya sangat banyak,
yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh si pembeli, sehingga ia
memerlukan bantuan seorang pakar agar pembeli tidak tertipu, maka khiyar ta’yin
dibolehkan.
Akan tetapi, jumur ulama fiqh tidak
menerima keabsahan khiyar ta’yin yang dikemukakan ulama Hanafiyah ini. Alasan
mereka, dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa barang yang diperdagangkan
(al-sil’ah) harus jelas, baik kualitasnya maupun kuantitasnya.
D. Utang-Piutang
Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam
telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa)
ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang
berutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan utang.
Sedangkan
secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta
(uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya
dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. Atau
dengan kata lain, Utang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp.
1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan
uang sejumlah satu juta juga.
Utang-piutang merupakan perbuatan kebajikan yang telah
disyari’atkan dalam Islam. Hukumnya adalah mubah atau boleh. Dasar hukum
bolehnya transaksi dalam bentuk utang-piutang tersebut dalam bentuk ayat
al-Quran di antaranya pada surat al-Muzammil ayat 20:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah
pinjaman yang baik.
Keutamaan Orang yang Terbebas
dari Hutang
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ
ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barangsiapa yang ruhnya terpisah
dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: (1) sombong, (2) ghulul
(khianat), dan (3) hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shohih). Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai
hutang.”
Mati Dalam Keadaan Masih Membawa
Hutang, Kebaikannya Sebagai Ganti
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ
مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam
keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut
akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di
akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shohih). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras
mengenai hutang.”
Itulah keadaan orang
yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka
untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi
ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk
melunasi hutang tersebut.
Urusan Orang yang Berhutang Masih
Menggantung
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى
يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih
bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shohih sebagaiman Shohih wa
Dho’if Sunan At Tirmidzi)
Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya
masih menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah
dia selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas
atau tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142)
Orang yang Berniat Tidak Mau
Melunasi Hutang Akan Dihukumi Sebagai Pencuri
Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ
لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu
berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat)
dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no.
2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)
Al Munawi mengatakan, “Orang
seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan
sebagaimana mereka.” (Faidul Qodir, 3/181)
Ibnu Majah membawakan hadits di
atas pada Bab “Barang siapa berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya.”
Ibnu Majah juga membawakan
riwayat lainnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا
أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang mengambil harta
manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan
dirinya.” (HR. Bukhari no. 18
dan Ibnu Majah no. 2411). Di antara maksud hadits ini adalah barangsiapa yang
mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat tidak ingin
mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan menghancurkannya..
Masih Ada Hutang, Enggan
Disholati
Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata:
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.”Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata,“Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.”Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata,“Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)
Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni
Walaupun Mati Syahid
Dari
‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ
لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati
syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)
Oleh karena itu,
seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan
mendesakkah saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa
dilunasi hanya dengan istighfar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Sering Berlindung dari Berhutang Ketika Shalat
Bukhari membawakan dalam kitab
shohihnya pada Bab “Siapa yang berlindung dari hutang”. Lalu beliau rahimahullah membawakan hadits dari ‘Urwah, dari
‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ
إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا
أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ
الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berdo’a di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A’UDZU
BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat
dosa dan banyak utang).”
Lalu ada yang berkata
kepada beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan adalah dalam
masalah hutang?” Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang yang berhutang
berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.”(HR.
Bukhari no. 2397)
Berbahagialah Orang yang Berniat
Melunasi Hutangnya
Ibnu Majah dalam
sunannya membawakan dalam Bab “Siapa saja yang memiliki hutang dan dia berniat
melunasinya.” Lalu beliau membawakan hadits dari Ummul Mukminin Maimunah.
كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ
أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى
سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ
أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا ».
Dulu Maimunah ingin berhutang.
Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!”
Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah
mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah
mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan
memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia.” (HR. Ibnu Majah no. 2399. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shohih kecuali kalimat fid dunya -di dunia-)
Juga
terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ
مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ
اللَّهُ
“Allah akan bersama (memberi
pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai
dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang
dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no.
2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Sebaik-baik orang
adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung
melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya.
Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang
berhutang dan yang memberi hutangan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling di
antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)
Hukum Utang Piutang
Hukum Utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat
Islam. Bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang
sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya
terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya
utang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil
dari Al-Qur’an adalah firman Allah swt:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ
وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan
dari Abu Rafi’, bahwa Nabi saw pernah meminjam seekor unta kepada seorang
lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau
menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’
kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan
hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda, “Berikan saja
kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam
mengembalikan utang.”
Nabi
saw juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ
إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap
muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti
orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari
Ibnu Mas’ud. Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi
Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’
tentang disyariatkannya utang piutang (peminjaman).
2.3 Kerja Sama Dalam Mu’amalah
Islam
Kerja
sama yang dimaksud disini adalah kerja sama dalam berusaha untuk mendapatkan
keuntungan.
Kerja
sama dapat berlaku dalam usaha pertanian
dan peternakan dan dapat pula dalam usaha perdagangan dan industri.
Kerja sama dalam pertanian dapat berlaku antara pemilik lahan pertanian dengan
pekerja tani yang disebut muzara’ah; atau antara pemilik pepohonan
dengan pekerja perawat pepohonan tersebut, yang disebut musaqah.
A. Muzara’ah
dan Mukhabarah
Pengertian
Muzara’ah
Menurut
bahasa, muzara’ah memiliki dua arti, yang
pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melempar tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar),
makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki.Muzara’ah yakni menyewa pekerja untuk bercocok-tanam pada sawah ladang itu
dengan membayar sebagian dari hasil tanah itu.
Menurut
bahasa, kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian
hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak
mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
Menurut
Muhammad Syafi’i Antonio, muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian
antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan
pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan
bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.[7]
Menurut istilah
, muzara’ah didefinisikan oleh para ulama, seperti yang dikemukakan
oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, sebagai berikut:
1. Menurut
Hanafiyah, muzara’ah ialah:
عَقْدٌ عَلىَ
الزَّرْ عِ بِبَعْضِ الْخَا رِجِ مِنَ الْأَ رْضِ
“Akad
untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”.
2.
Menurut
Hanabilah, muzara’ah ialah:
اَنْ يَدْ فَعَ صَا حِبُ الْأَ رْ ضِ
الصَّا لِحَةِ الْمُزِ ارَ عَةِ أَرْ ضَهُ لِلْعَا مِلِ الَّذِ ىْ يَقُوْ مُ يِزَ
رْ عِهَا وَ بَدْ فَعُ لَهُ الْحُبَّ
“Pemilik
tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja
diberi bibit.”
3. Menurut Malikiyah muzara’ah ialah:
اَلشَّرْ كَةُ
فِى الْعَقْدِ
“Bersekutu
dalama akad.”
Lebih
lanjut dijelaskan, bahwa dari pengertian tersebut dinyatakan, muzara’ah adalah
menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.
4.
Menurut
dhair nash, al-syafi’i , muzara’ah ialah:
اكْتِرَا ء الْعَا مِلِ لِيَزْرَ عَ
الْأَ رْ ضَ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
“Seorang
pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.”
Setelah diketahui definisi-definisi
di atas, dapat dipahami bahwa muzara’ah yaitu pemilik tanah
menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola dan modalnya dikeluarkan
dari pemilik tanah.
Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah ialah
pembagian sawah atau lading, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang,
sedangkan benihnya dari yang punya sawah.[8]
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Munculnya
pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena
adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam
Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan
ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam
Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha
mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabaroh
عَنْ رَافِعِ بْنِ
خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ
عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ
فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Artinya :
Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar
yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian
tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang
sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh
karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian (H.R. Bukhari).
عَنْ اِبْنِ
عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ
بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah
memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan
perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah –
buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Menurut Imam Syafi’i, Hukum
muzaraah adalah bathil atau tidak sah dikarenakan bibit dari pertanian tersebut
dari pemilik tanah dan pekerjanya mendapatkan separuh dari hasil panen. Menurut
beliau muzaraah ini bisa sah dengan syarat Pemilik tanah yang sekaligus pemilik
benih tadi mendapatkan 2/3 dari hasil panen atau lebih dan pekerjanya
mendapatkan 1/3.
Dalam muzara’ah, tidak boleh
mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si pemilik tanah dan sebidang
tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh
mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Syarat-Syarat
Muzara’ah dan Mukhabarah
1.
Aqil dan
Baligh
2.
Ijab dari
pemilik tanah dan qabul dari pekerja.
3.
Kedua pelaku
akad memiliki hak untuk melakukan secara langsung akad-akad tukar-menukar
seperti ini.
4.
Bagian milik
masing-masing dari keduanya, yang dating dari hasil yang diperoleh, harus jelas
dan musya’ antar keduanya, baik dengan bagian yang sama maupun berbeda
sesuai dengan kesepakatan.
5.
Penentuan
tanah atau lahan yang akan digarap.
6.
Tanah harus
layak dan baik untuk ditanami, meski perlu pengolahan dan perbaikan.
7.
Penentuan
masa berlakunya Muzara’ah dengan hari, atau bulan, atau tahun, dan harus mencukupi
untuk masa tanam dan panen.
B.
Musaqah
Musaqah diambil
dari kata al-saqa, yaitu orang yang bekerja pada pohon tamar, anggur
(mengurusnya), atau pohon lain supaya mendapatkan kemasalahatan dan mendapatkan
bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan[9].
Menurut Syafi’iyah,
أن يعا مل
شخص يملك نخلا أو عنبا سخصا أخر على أن يبا شر ثا نيهما النّحل او العنب
بالسّقى والتّر
بية والحنظ ونحوذلك وله فى نظير عمله جزاءمعيّن منالثمر الّذى يحرج منه
“Musaqah berarti memberikan pekerjaan orang yang
memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya
dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan pekerja memperoleh bagian
tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.”
Musaqah secara istilah adalah
mempekerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya
serta hasil yang direzekikan Allah SWT. dari pohon itu untuk mereka berdua
(pendapat Syekh Syihab ad-Din al-Qalyubi dan Syekh Umarah).
Dasar hukumnya dalah hadits Nabi saw. riwayat
Imam Muslim dari Ibnu Amr, r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda :
اعطى خيبر بشطر مايحرج من ثمراو زرع وفى رواية : دفع إلى اليهود خيبر
وارضها على انيعملوها من اموالهم وان لرسول الله صلى الله عليه وسلم شرطها
Artinya: “Memberikan tanah khaibar dengan separoh dari penghasilan, baik
buah-buahan maupun pertanian (tanaman).” Pada riwayat lain dinyatakan bahwa
Rasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari
hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi.
Secara
terminologis al-musaqah didefinisikan oleh para ulama :
a. Abdurahman al-Jaziri, al-musaqah ialah :
“aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya
dengan syarat-syarat tertentu”.
b. Malikiyah, bahwa al-musaqah ialah :
“sesuatu yang tumbuh”. Menurut Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah
di bagi menjadi lima macam :
1. Pohon-pohon tersebut berakar kuat
(tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut
tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun
2. Pohon-pohon tersebut berakar tetap
tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati
3. Pohon-pohon yang tidak berakar kuat
tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi dan qatsha’ah
4. Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak
ada buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat
seperti bunga mawar
5. Pohon-pohon yang diambil hijau dan
basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang
ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya.
c. Menurut Syafi’iyah yang di maksud dengan
al-musaqah ialah : “Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan
anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara
dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang di
hasilkan pohon-pohon tersebut”.
d. Menurut Hanabilah bahwa al-musaqah itu
mencakup dua masalah :
1. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah
ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya
yang dimakan sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau
setengahnya.
2. Seseorang menyerahkan tanah dan pohon,
pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan
pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon
yang ditanamnya, yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah, karena
pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkanya.
Rukun musaqah meliputi beberapa hal:
1.
Antara pemilik
kebun dan tukang kebun (penggarap) hendaknya orang yang sama-sama berhak
bertasaruf (membelanjakan harta keduanya).
2.
Kebun dan
semua pohon yang berbuah boleh diparokan (bagi hasil), baik yang berbuah
tahunan (satu kali dalam satu tahun) maupun yang berbuah hanya satu kali
kemudian mati, seperti jagung dan padi.
Rukun-rukun musaqah menurut
ulama Syafi’iyah ada 5 berikut ini.
a.
Shigat, yang
dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan dengan samara (kinayah).
Disyaratkan shighat dengan lafazh dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
b.
Dua orang
atau pihak yang berakad (al-‘aqidani), disyaratkan bagi orang-orang yang
berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola akad, seperti baligh, berakal, dan
tidak berada di bawah pengampuan.
c.
Kebun dan
semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh diparohkan (bagi
hasil), baik yang berbuah tahunan maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian
mati, seperti padi, jagung, dan yang lainnya.
d.
Masa kerja,
hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan, seperti satu tahun atau
sekurang-kurangnya menurutkebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon
yang diurus sudah berbuah, juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang
harus dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-cabang
pohon yang akan menghambat kesuburan buah, atau mengawinkannya.
e.
Buah,
hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan bekerja
dikebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat, atau ukuran yang lain.
Syarat
Musaqah
Syarat musaqah adalah sebagai berikut:
1.
Ahli dalam
akad.
2.
Menjelaskan
bagian penggarap
3.
Membebaskan
pemilik dari pohon.
4.
Hasil dari
pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang melangsungkan akad sampai batas akhir,
yakni menyeluruh sampai akhir.
5.
Tidak
disyaratkan untuk menjelaskan mengenai jenis benih, pemilik benih, kelayakan
kebun, serta ketetapan waktu.
Dasar Hukum
Musaqah
Asas hukum musaqah ialah sebuah
hadistyang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr r.a., bahwa Rasulullah
SAW bersabda:
أعطى خيبر
بشطر مايخر ج منها من ثمر او زرعوفي رواية دفع إلى اليهود خيبر وأرضها على ان
يعملوها من أموالهم وأنّ لر سول الله ص مشطرها
“Memberikan tanah khaibar dengan bagian separuh dari
penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian. Pada riwayat lain dinyatakan
bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk di olah dan
modal dari hartanya, penghasilan separuhnya untuk Nabi”
Jumhur ulama fiqh mengatakan: bahwa
akad Al-musaqah itu dibolehkan. Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam
menetapkan hukum musaqah adalah:
a.
Dari
Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk
khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi
sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun
(palawija)” (H.R Muslim).
b.
Dari
Ibnu Umar: ” Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma dan tanahnya
kepada orang-orang yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka,
dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
c.
“Bahwa
Rasulullah Saw, melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan
ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu”.
(H.R. Muttafaqun ‘alaih)
C.
Salam
As-Salam
secara bahasa memiliki banyak arti, di antaranya adalah at-taqdîm waat-taslîm (mendahulukan
dan menyerahkan). As Salam terkadang dikenal juga dengan sebutan As Salaf atau
Pendahuluan.
Ba’i
as-Salam, atau biasa disebut dengan salam, merupakan pembelian barang yang
pembayarannya dilunasi dimuka, sedangkan penyerahan barang dilakukan di
kemudian hari. Akad as salam ini digunakan untuk memfasilitasi pembelian
suatu barang (biasanya barang hasil pertanian) yang memerlukan waktu untuk
memproduksinya.
Dalam jual beli salam ini, resiko
terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai waktu
penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak barang
yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang
disepakati.[10]
Landasan
Hukum Jual Beli Salam
Akad bai’
salam diperbolehkan dalam akad jual beli. Berikut pemakalah paparkan
dalil-dalil (landasan syari’ah)yang terdapat dalam Al-Quran, Sunnah, dan
pendapat ulama.
1.
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 282 Allah telah menjelaskan tata cara mu’amalah, yaitu:
Allah
berfirman:
…يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. …”
Dari ayat ini dapat kita pahami
bahwa Allah telah membolehkan melakukan akad jual beli secara tempo. Maka
hendaknya melakukan pencatatan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
2.
“Barang
siapa melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui”
Hadits riwayat Imam Bukhari dari
Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan tentang keabsahan
jual beli salam.
Berdasarkan atas ketentuan dalam
hadits ini, dalam praktik jual bei salam harus ditentukan spesifikasi barang
secara jelas, baik dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya,
sehingga tidak terjadi perselisihan.
3.
Sahabat Ibnu
Abbas r.a berkata:
Saya bersaksi bahwa jual-beli As
Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan
Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat
As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy,
dan dishohihkan oleh Al Albany)
Dalil dari As-Sunnah yang lain adalah hadis
Abdullah bin Abbasradhiallahu 'anhuma yang berbunyi:
قَدِمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم- الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ
فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ
مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Ketika Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan
buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda,
“Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah
takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang
telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah
diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun 'alaih)
4.
Kesepakatan
ulama (ijma) akan diperbolehkannya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu
Munzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli
salam diperbolehkan. (Zuhaili, 1989, hal. 568)
Rukun dan
Syarat Jual Beli Salam
Dalam jual
beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
a.
Pembeli (muslam)
b.
Penjual (muslam
ilaih)
c.
Modal / uang
(ra’sul maal)
Modal
mempunyai syarat tertentu pula, yaitu:
- Jelas
spesifikasinya, baik jenis, kualitas, dan jumlahnya.
- Harus
diserahkan saat terjadinya akad.
d. Barang
(muslam fiih).
Barang yang
menjadi obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat
diakui sebagai hutang.
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a.
Pembayaran
dilakukan dimuka (kontan)
b.
Dilakukan
pada barang-barang yang memiliki criteria jelas
c.
Penyebutan
criteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan
d.
Penentuan
tempo penyerahan barang pesanan
e.
Barang
pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f.
Barang
Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha
Contoh Jual Beli Salam
Seorang petani yang memiliki 2
hektar sawah mengajuan pembiayaan sebesar Rp. 5.000.000,00. Pembiyaan tersebut
sudah mencakup ongkos bibit dan upah pekerja. Ia berencana menanami sawahnya
dengan bibit jenis IR36 yang bila telah digiling menjadi beras dijual dipasar
dengan harga Rp. 2.000,00 per kg. Penghasilan yang di dapat dari sawahnya
biasanya berjumlah 4 ton beras per hektar. Ia akan mengantar beras ini setelah
3 bulan. Bagaimana cara perhitungannya?
Jawaban
Jumlah pembiayaan yang diajukan oleh
petani sebesar Rp. 5.000.000,00, sedangkan harga beras IR36 di pasar Rp.
2.000,00 per kg. Karenanya, bank bisa membeli dari petani sebanyak 2,5 ton (Rp.
5.000.000,00 dibagi Rp. 2.000,00 per kg). Beras tersebut dapat dijual kepada
pembeli berikutnya. Setelah melalui negoisasi, bank menjualnya sebesar Rp.
2.400,00 per kg., yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp. 6.000.000,00
(dibilang secara umum, bank mendapat keuntungan jual beli, bukan pembuangan
uang, sebesar 20% margin)
D.
Qiradh
Istilah
Mudharabah digunakan oleh orang irak, sedangkan orang hijaz (sebuah daerah di
Arab Saudi) menyebutnya dengan istilah Qiradh, dengan demikian mudharabah dan
qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa Qiradh diambil dari kata al-Qith’u yang berarti (potongan),
sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada
pengusaha agar mengusahakan harta tersebut, dan pengusaha akan memberikan
potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata Muqaradhah yang
berarti (kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama
terhadap laba.
Menurut istilah Syara’ mudharabah berarti akad diantara dua pihak
untuk bekerja sama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan
dana kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan
dibagi diantara mereka berdua sesuai perjanjian yang telah disepakati..
Dengan adanya qiradh, seseorang
yang mempunyai keahlian usaha tetapi tidak memiliki modal akan dapat tertolong,
sehingga modalnya tidak habis dan memperoleh keuntungan bersama. Sabda Nabi
SAW:
والله فى هون العبد ما دام العبدفى
عون اخيه روه مسلم
وابوداودوالترمذى
Artinya : "Dan Allah selalu menolong
hamhanya selama hamba itu menolong saudaranya" (HR. Muslim, Abu Daud dan
At-Tirmidzi)
Seperti yang dikutip oleh Ali Fikri,
ulama Hanabilah mendefinisikan qardh sebagai berikut :
القَرْضٌ دَفْعُ مَا لٍ لِمَنْ
يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَه
Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang
memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.
Dasar
Hukum Qiradh
Pihak yang meminjami mempunyai pahala Sunat, sedangkan
dilihat dari pihak yang peminjam maka hukumnya, boleh (mubah).
a. Firman Allah SWT dalam Alqur’an:
مَنْ ذَا الَّذِي
يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang
baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia
akan memperoleh pahala yang banyak. (AL-Hadid:11)
b. Nabi saw. Bersabda:
ومن نفس عن اخيه كربة من كرب الدنيانفس الله عنه كربة من كرب
يوم القيمة
Barang siapa yang
memudahkan kesulitan dunia saudaranya, maka Allah akan memudahkan kesulitan
yang dihadapinya pada hari kiamat. (HR. Muslim).
c. Dari Ibnu Mas'ud, bahwa nabi saw bersabda:
مامن مسلم يقرض مسلما قرضامرتين الا كا ن كصدقة مرة
Tidak seorang muslim yang
mengQiradhkan hartanya kepada orang muslim sebanyak dua kali, kecuali
perbuatannya seperti sedekah satu kali. (HR. Ibnu Majah dan Ibnu
Hibban)
d. Dari Anas, bahwa nabi saw bersabda:
رايت ليلة اسري بي عل باب الخنة مكتوبا:الصدقة بعشرامثا
لهاوالقؤض بثمانية عشر.فقلت:ياخبريل,ما بال القؤض افضل من الصدقة؟قال:لأ ن السائل
يسأل وعنده., والمستقرض لايستقرض إلامن حخة
"Pada malam
diisra'kan aku melihat tulisan di pintu surga, tertulis: 'sedekah mendapat
balasan sepuluh kali lipat dan Qiradh mendapat balasan delapan balasan kali
lipat'. Aku katakan: ' mengapa Qiradh itu dapat lebih afdhal daripada sedekah'?
Jibril menjawab: 'karena (biasanya) orang yang meminta waktu ia (sedekah) ia
sendiri punya, sedangkan orang yang minta diQiradhkan ia tidak akan minta
diQiradhkan kecuali ia butuh.
Rukun dan Syarat Qiradh
Rukun
|
Syarat
|
a. Pemilik dan penerima modal
|
Dewasa, sehat akal dan sama-sama
rela
|
b. Modal
|
Harus diketahui secara jelas
(jumlahnya) baik oleh pemilik maupun penerima modal
|
c. Pekerjaan
|
Jenis pekerjaan ditentukan sendiri
oleh penerima modal, sesuai bakat dan kemampuannya. Pemilik modal perlu
mengetahui jenis pekerjaan tersebut
|
d. Keuntungan
|
Besar atau kecilnya bagian
keuntungan hendaknya dibicarakan saat mengadakan perjanjian. misalnya,
pemilik modal memperoleh 40%, sedangkan penerima modal 60%.
|
Hikmah Qiradh
1.
Membantu
kaum yang lemah yang tiada modal namun mampu menggunakan modal untuk suatu
usaha yang hasilnya bisa dipetik oleh kedua belah pihak.
2.
Menyenangkan
kedua belah pihak, pihak pemilik modal bias mendapat keuntungan dari modalnya,
pihak yang menjalankan modal mampu mengembangkan usahanya lebih maju.
3.
Menjunjung
nilai tolong-menolong yang sangat dianjurka oleh islam.
4.
Mengurangi
pengangguran, karena dengan dibukanya usaha secara otomatis membutuhkan tenaga
kerja yang cukup banyak.
Bab III
Penutup
3.1
Kesimpulan
1.
Pengertian
secara luas
Muamalah
merupakan Aturan-aturan Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan
urusan duniawi dalam pergaulan social.
2.
Pengertian
secara sempit
Muamalah
merupakan aturan tentang kegiatan ekonomi manusia. Pada
dasarnya, perbedaan dari pengertian muamalah secara luas maupun secara sempit
terletak pada cangkupannya, pengertian luas mencangkup munakahat, politik,
warisan, dan pidana. Sedangkan dalam pengertian sempit cangkupannya hanya
tentang ekonomi.
3.
Transaksi dalam Mu’amalah Islam yaitu:
a. Jual-beli
b. Riba
c. Khiyar
d. Utang-piutang
4.
Kerja sama
dalam Mu’amalah Islam yaitu:
a. Muzara’ah dan
Mukhabarah
b. Musaqah
c. Salam
d. Qiradh
3.2
Saran
Dari
pembahasan di atas maka kami menyarankan agar para pembaca mengetahui dan
memahami tentang “ Hukum Mu’amalah”
Kita sebagai umat muslim agar memperhatikan hukum muamalah
dan tata cara jual beli yang sah menurut agama islam agar mendapat keridhoan
Allah. Kita juga harus memperhatikan riba yang terkandung didalam hal jual beli
tersebut, karena terdapat hadist yang mengharamkan riba dalam islam.
Akhirnya
makalah ini memang jauh dari sempurna dan semoga makalah ini dapat bermanfaat,
kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kemajuan kita bersama.
Daftar Pustaka
Ascarya. 2011. Akad dan Produk Bank Syariah.
Jakarta : Rajawali Pers
Mas’ud,
Ibnu. 2007. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung : Pustaka Setia
Rahman Ghazali, Abdul. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta : kencana
Rasjid, Sulaiman. 2002. Fiqih Islam. Bandunng :
Sinar Baru Algensindo
Sahrana, Sohari.
2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia
Suhendi, Hendi. 2011. fiqh Muamalah. Jakarta :
Rajawali Pers
Syarifudin,
Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta : Prenada Media
Yazid Afandi, M. 2009. Fiqh Muamalah Dan Implementasinya
Dalam Lembaga
Keuangan Syariah. Yogyakarta: Logung
Pustaka.
qiradh.html
http://rumaysho.com/muamalah/bentuk-jual-beli-yang-terlarang-4-2414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar