Minggu, 01 Februari 2015

TRANSFORMASI POLITIK DAN DINAMIKA HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

HUKUM TATA NEGARA
“TRANSFORMASI POLITIK DAN DINAMIKA HUKUM TATA NEGARA INDONESIA”











Disusun oleh:
Sri Nasriyah Jayid       : 1138010248
Tiara Octaviani S.       : 1138010260
Umu Kulsum               : 1138010267
Wiguna                        : 1138010272
Wulan Lestari              : 1138010278
Zilla Ulfah                   : 1138010286
           
ADMINISTRASI NEGARA G/III
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam hubungan ketata negaraan.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan, oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.



Bandung, Oktober 2014
Penyusun






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                              
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
BAB II PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Politik Era Presiden Soekarno
B.     Perkembangan Politik Era Presiden Soeharto
C.     Perkembangan Politik Era Reformasi
D.    Masa Republik Indonesia I (1945-1959): Masa Demokrasi Konstitusional
E.     Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin
F.      Masa Republik Indonesia III (1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila
G.    Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang): Masa Reformasi
H.    Partai Politik di Indonesia
I.       Hubungan HTN dengan Ilmu Negara dan Ilmu Politik
J.       Kecenderungan Kajian Politik di Masa Lampau
K.    Kecenderungan Modern
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masa transisi dalam sebuah konstalasi politik negara merupakan periode rekonsolidasi antara kekuatan politik yang menghendaki perubahan. Rekonsolidasi dilakukan dalam level elite sekaligus upaya pelibatan basis massa rakyat sebagai pemegang legitimasi negara. Masa transisi merupakan periode menentukan dalam sebuah perkembangan politik, sehingga membutuhkan sebuah konsistensi, energi ekstra dan konsolidasi dari kelompok progresif. Sebab, rekonsolidasi tidak hanya sekadar menyatukan potensi kekuatan kelompok progresif, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengantisipasi kekuatan status quo (konservatif). Bahkan, mengawal sebuah perubahan jauh lebih penting dari memulai perubahan. Indonesia setidaknya telah mencatat dua era transisi yang penting, yakni era peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perkembangan Politik Era Presiden Soekarno
Sebagai pemimpin besar revolusi, Soekarno dipandang sebagai Presiden Republik Indonesia yang punya kharisma politik tersendiri. Lugas, tegas, menggebu-gebu, semangat, dan cenderung anti-barat merupakan gambaran yang bisa kita saksikan pada setiap pidato politiknya.
Masa awal kepemimpinannya, ditandai dengan terbentuknya sistem pemerintahan parlementer. Sistem ini menciptakan sebuah pemerintahan yang memberi kekuasaan dominan kepada lembaga legislatif. Terbentuknya berbagai partai politik yang bebas menyuarakan aspirasi merupakan tanda kehidupan politik terakomodir.
Perkembangan politik di era kepemimpinan Soekarno, telah memberikan ruang luas bagi partai politik untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan politiknya. Ini terbukti dengan terbentuknya sistem kepartaian (multipartai). Masyarakat pun memiliki pilihan yang banyak untuk menempatkan keterwakilan politiknya di parlemen.
Pemilu sebagai ciri dari negara demokrastis, di era Soekarno diselenggarakan dengan baik. Kebebasan pers menduduki posisi tertinggi, sebagai media informasi yang dijamin kebebasannya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Era kepemimpinan kemudian ditandai dengan melemahnya sistem kepartaian yang bebas. Lalu terjadi gerakan perkembangan yang lambat terhadap perkembangan politik Indonesia saat itu.
Demokrasi Parlementer yang memegang peranan penting dalam pemerintahan tidak lagi dipandang sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan luas. Presiden, dalam hal ini Soekarno, yang kemudian menasbihkan dirinya sebagai presiden seumur hidup dalam bingkai kepemimpinan yang disebutnya sebagai era Demokrasi Terpimpin.
Fokus kebebasaan kemudian "kabur". Saat itu, terjadi sentralisasi dalam segala bidang dan tertutupnya akuntabilitas pemerintahan. Presiden menjadi dominan kekuasaannya, dan berakibat melemahnya peran legislatif.Akhirnya, saat itu tidak ada satu pola pengemban kehidupan politik yang demokrastis.
Soekarno lalu “dilengserkan” dari jabatannya sebagai presiden, melalui Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar yang “konon” berisi pemberian tanggung jawab pengambil alihan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto. Peristiwa ini menandai terbentuknya era baru kepemimpinan politik di Indonesia.
B.     Perkembangan Politik Era Presiden Soeharto
Perkembangan  politik Indonesia era kepemimpinan Presiden Soeharto di mulai ketika ia "mengambil alih" kekuasaan dari Presiden Soekarno. Pemerintahan politik dijalani berdasarkan asas Pancasila, yang juga mengatur seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Awalnya, realisasi pengamalan Pancasila mampu diterima masyarakat sebagi "kiblat" pemerintahan politik yang dijalankan Soeharto. Namun, berubah sebagai alat pemaksaan kehendak, yang mengubah sistem pemerintahan menjadi otoriter. Presiden menjadi komandan pemerintahan yang tidak boleh tersentuh oleh apapun dan siapapun. Kehidupan politik yang diharapkan mengalami perkembangan setelah runtuhnya rezim Soekarno ternyata hanya jadi retorika semata.
Posisi politik lembaga legislatif yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan, malah menjadi tameng dari pemerintah yang dibangun secara over sentralistik. Rotasi kekuasaan politik tak pernah terjadi hingga 32 tahun lamanya. Pemilu hanya dijadikan rutinitas lima tahunan yang pemenangnya sudah bisa ditebak.
Partai Golkar menjadi kendaraan politik yang ampuh digunakan oleh Soeharto untuk mengamankan setiap keputusan politik pemerintahannya di DPR. Bahkan, Presiden Soeharto berubah sangat arogan, dengan menggunakan kekuatan militer pada setiap situasi keamanan yang bisa saja mendorong masyarakat untuk bergerak melawan rezimnya yang korup.
Sistem rekrut politik sebagai bagian dari penjaringan bakat politik baru, dilakukan tidak terbuka. Perkembangan politik jalan di tempat dengan tidak adanya refresh tokoh politik baru.
Memang pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali, tetapi semua hanya sebagai formalitas belaka. Pejabat birokasi, Golkar, dan ABRI diinstruksikan untuk memenangkan setiap putaran pemilu yang berlangsung. Masyarakat dikekang kebebasannya memilih, serta dipaksa untuk memilih partai tertentu yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Pertumbuhan partai politik dibatasi hanya 3 partai, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembagunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Era kepemimpinan Presiden Soeharto kemudian dikenal sebagai masa tertindasnya kebebasan HAM, tercerabutnya akar penghormatan hak-hak dasar manusia, bahkan terjadinya pelanggaran HAM dihampir seluruh daerah di Nusantara.
Masyarakat yang tersadarkan pada situasi politik yang tidak sehat ini, akhirnya betul-betul memberikan perlawanan kepada pemerintahan yang berkuasa. Melalui gerakan reformasi tahun 1998, yang dimotori mahasiswa, rezim yang sering disebut sebagai rezim Orde Baru pun runtuh. Harapan terciptanya pemerintahan yang bersih, termasuk bagi perkembangan politik Indonesia ke arah yang lebih baik muncul di masyarakat.
C.    Perkembangan Politik Era Reformasi  
Tidak ada yang dapat memberikan penilaian dengan pasti apakah cita-cita reformasi sudah terwujud atau belum. Runtuhnya kekuasaan Soeharto padahal telah memberikan secercah harapan bagi terciptanya iklim demokrasi yang jauh lebih baik. Namun, harapan itu kenyataan hanya menjadi mimpi tanpa realisasi nyata. Masih adanya perbedaan dalam pandangan ketegasan terhadap sistem pemerintahan, merupakan salah satu indikator yang bisa kita lihat. Di sini terlihat ada persaingan politik yang terjadi, antara pemerintah dan legislatif sebagai pembuat produk undang-undang.
Kekuasaan presiden tidak mutlak dijalankan secara penuh, tapi terpengaruh pada parlemen. Hal ini akhirnya menciptakan situasi politik yang tidak sehat, karena presiden terpaku oleh kepentingan lain. Kepentingan itu bisa jadi tidak berpengaruh pada perbaikan kondisi bangsa secara keseluruhan.
Dari uraian tadi, jelas terlihat bahwa sistem demokrasi dalam perkembangan politik Indonesia yang dibangun pasca Orde Baru masih mencari bentuk yang ideal. Satu prestasi yang patut kita cermati adalah keinginan yang kuat untuk merealisasikan sistem pemilihan kepala daerah langsung. Kebebasan berserikat dan berpendapat yang ada dalam undang-undang dasar direalisasikan dengan sistem multipartai.
Perkembangan politik di Indonesia sepertinya memang masih mencari jalannya untuk berkembang lebih baik lagi. Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa butuh waktu lagi untuk menemukan format sistem politik yang betul-betul mampu mendorong terciptanya pemerintahan yang baik pula. Jika merunut pada itu semua, maka perkembangan politik di Indonesia tidak ada yang mampu memprediksi akan tumbuh seperti apa di masa depan.
D.    Masa Republik Indonesia I (1945-1959): Masa Demokrasi Konstitusional
            Sistem parlementer yang mulai berlaku ebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain.[1] Persatuan yang dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Pewakilan Rakyat.
            Undang-undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional (constituionalhead) dan menteri-menterinya mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisai ternyata kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu-waktu, sehingga kabinet sering kali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan demikian ditimbulkan kesan bahwa partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi.
            Umumnya kabinet dalam masa pra pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pemilihan umum tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusat dan beberapa daerah.
            Di samping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai rubberstomp (presiden yang membubuhi capnya belaka) dan suatu tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
            Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Degan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
E.     Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin
            Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik.
            Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-Undang Dasar memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu, banyak lagi tindakan yang menyimpang dari atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi kontrol ditiadakan. Bahkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden, di samping fungsi sebagai wakil rakyat. Dalam rangka ini harus pula dlihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif untuk campur tangan di bidang lain selain bidang eksekutif. Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan Undang-Undang No 19/1964, dan di bidang legislatif berdasarkan Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat.
            Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan dimana berbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Penpres) yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Tambahkan pula didirikan badan-badan ekstra konstitusional sebagai arena kegiatan, sesuai dengan taktik Komunisme Internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan , dan dibreidel, sedangkan politik mercu suar di bidang hubungan luar negeri dan ekoomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa demokrasi Pancasila.
F.     Masa Republik Indonesia III (1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila
            Landasan formal dari periode ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta Ketetapan-Ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang terlah terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin, telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan efektif setiap lima tahun. Ketetapan MPRS No. 19/1964 telah diganti dengan suatu undang-undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan kembali ke asas kebebasan badan-badan pengadilan. Dewan Perwakilan Rakyat Dotong Royong diberi beberapa hak kontrol disampig tetap mempunyai status menteri. Begitu pula tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang baru telah meniadakan pasal yang memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dapat mencapi mufakat antara anggota badan legislatif. Gologan Karya, di mana anggota ABRI memainkan peranan penting, diberi landasan konstitusional yang lebih formal. Selain itu beberapa hak asasi diusahakan supaya diselenggarakan lebih penuh dengan memberi kebebasan lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat dan kepada partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat di samping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur serta terencana.
            Perekmbangan lebih lanjut pada masa Republik Indonesia III (yang juga disebut sebagai Orde Baru yang menggantikan Orde Lama) menunjukan peranan presiden yang semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan presiden karena Presiden Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai presiden dalam sistem presidental, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalm elit politik Indonesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan menggunakan Surat Perintah 11 Maret (Super Semar) memberikan peluang yang besar kepada Jenderal Soeharto untuk tampil sebagai tokoh yang paling berpengaruh di Inonesia. Status ini membuka peluang bagi Jenderal Soeharto untuk menjadi presiden berikutnya sebagai pengganti Presiden Soekarno.
            Perlunya menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan integrasi nasional telah digunakan sebagai alat pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya adalah prinsip monoloyolitas pegawai negeri sipil (PNS). Semula prinsip itu diperlukan untuk melindungi Orde Baru dari gangguan-gangguan yang mungkin timbul dari musuh-musuh Orde Baru dengan mewajibkan semua PNS untuk memilih Golkar dalam setiap pemilihan umum (pemilu). Kemudian setelah Orde Baru menjadi lebih kuat, ternyata prinsip monoloyalitas tersebut masih tetap digunakan untuk mencegah partai politik lain keluar sebagai pemenang dalam pemilu sehingga Golkar dan Orde Baru dapat terus berkuasa.
            Masa Republik Indonesia III menunjukan keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu. Pemilu diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama periode tersebut berhasil diadakan enam kali pemilu, masing-masing pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari awal, Orde Baru memang menginginkan adanya pemilu. Ini terlihat dari di keluarkannya Undang-undang (UU) Pemilu pada tahun 1969, hanya setahun setelah Presiden Soeharto dilantik sebagai presiden oleh MPRS pada tahun 1968 atau dua tahun setelah ia dilantik sebagai Pejabat Presiden pada tahun 1967. Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru pada masa awalnya, yakni Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
            Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemilu tersebut karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi peserta pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu. Sebelum fusi partai politik tahun 1973, semua OPP, kecuali Golkar, menghadapi berbagai kendala dalam menarik dukungan dari para pemilih, antara lain karena adanya asas monoloyalitas yang sudah disebutkan sebelumnya. Setelah fusi 1973 yang menghasilkan dua partai politik di samping Golkar, tidak ada perubahan dalam pemilu karena Golkar tetap dapat dipastikan memenangkan setiap pemilu. Hal ini disebabkan karena OPP ini mendapatkan dukungan dan fasilitas dari pemerintah sedangkan dua partai lainnya, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menghadapi banyak kendala dalam memperoleh dukungan dari para pemilih. Terlepas dari semua itu, pelaksanaan pemilu sebanyak 6 kali tersebut telah memberikan pendidikan politik yang penting. Bagi rakyat Indonesia sehingga rakyat telah terbiasa memberikan suara dan menentukan pilihan dalam pemilu.
            Keberhasilan pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada beras pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan pembangunan ekonomi pada masa-masa setelah itu ternyata tidak diikuti dengan kemampuan untuk memberantas korupsi. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan keberhasilan pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan oleh para anggota keluarga dan kroni para penguasa, baik dipusat maupun di daerah.
            Di bidang politik, dominasi Presiden Soeharto telah membuat presiden menjadi peguasa mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power). Menjelang berakhirnya Orde Baru, elite politik semakin tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni dan merugikan negara dan rakyat banyak.
            Akibat dari semua ini adalah semakin menguatnya kelompok-kelompok yang menentang Presiden Soeharto dan Orde Baru. Yang menjadi pelopor para penentang ini adalah para mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan tumbangnya Orde Baru. Kekuatan mahasiswa yang besar yang menyebabkan sulitnya mereka diusir dari gedung tersebut dan semakin kuatnya dukungan para mahasiswa dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia terhadap gerakan tersebut berhasil memaksa elite politik untuk berubah sikap terhadap Presiden Soeharto. Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden turun. Kemudian 14 orang menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat perkembangan politik seperti ini, Presiden Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan yang besar dari rakyat dan orang-orang dekatnya sendiri, sehingga ia kemudian memutuskan untuk mundur sebagai Presiden RI pada tanggal 20 Mei 1998. Mundurnya Soeharto dari kursi presiden menjadi pertanda dari berakhirnya masa Republik Indonesia III yang disusul oleh munculnya Republik Indonesia IV.
G.    Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang): Masa Reformasi
            Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
            Preiden Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai langkah-langkah demokratisasi dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu, langkah yang dilakukan pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi. UU politik yang meliputi UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru disahkan pada awal 1999. UU politik ini jauh lebih demokratis dibandingkan dengan UU politik sebelumnya sehingga Pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang diakui oleh dunia internasional. Pada masa pemerintahan Habibie juga terjadi demokratisasi yang tidak kalah pentingnya, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI (sekarang TNI atau Tentara Nasional Indonesia) dihilangkan. Fungsi pertahanan menjadi fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak reformasi internal TNI tersebut.
            Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif di perkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung (pilpres). Pilpres pertama dilakukan pada tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif.
            Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah secara langsung (pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengharuskan semua kepala daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui pilkada mulai pertengahan 2005. Semenjak itu, semua kepala daerah yang telah habis masa jabatannya harus dipilih melalui pilkada. Pilkada bertujuan untuk menjadikan pemerintah daerah lebih demokratis dengan diberikan hak bagi rakyat untuk menentukan kepala daerah. Hal ini tentu saja berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang bersifat tidak langsung karena dipilih oleh DPRD.
            Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan tonggak sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya presiden dan wakil presiden yang didahului oleh terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan DPRD telah menuntaskan demokratisasi dibidang lembaga-lembaga politik di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berhasil membentuk pemerintah Indonesia yang  demokratis adalah proses tanpa akhir karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud secara tuntas. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tadi, demokrasi di Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang.
H.    Partai Politik di Indonesia
            Partai politik merupakan salah satu pilar dari demokrasi yang memainkan peranan penting dalam proses penyelenggaraan negara.[2] Partai politik merupakan bentuk dari partisipasi politik masyarakat secara langsung dengan melibatkan diri dalam perebutan kekuasaan politik di masing-masing negara berbeda-beda.
            Partai politik pertama-tama lahir pada zaman kolonial, seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah yang merupakan gerakan partai politik tertutup, sedangkan Sarekat Islam, Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia merupakan partai terbuka. Pada dasarnya, semua partai politik yang ada merupakan personifikasi keragaman budaya politik di Indonesia, yang dilahirkan melalui kebudayaan multipartai.
            Pada masa pendudukan Jepang, semua partai lama dibubarkan dan setiap kegiatan plitik dilarang. Hanya golongan Islam yang diperkenankan untuk membentuk suatu organisasi sosial yang dinamakan Masjumi, disamping beberapa organisasi baru yang diprakarsai oleh penguasa. Pada saat itu, sumber daya manusia dipaksa oleh Jepang untuk membangun Asia Timur Raya.
            Dalam masa revolusi fisik (1945-1949), partai-partai politik memainkan peran penting dalam proses pembuatan keputusan. Wakil-wakil partai duduk dalam KNIP dan kabinet kebanyakan terdiri dari wakil partai. Dalam masa ini, berbagai kabinet menghadapi berbagai tantangan, baik dari luar maupun dari dalam, misalnya dua Aksi Militer Belanda pada tahun 1947 serta 1948, dan pemberontakan PKI pada tahun 1948. Partai-partai tidak selalu sepakat mengenai strategi perjuangan untuk menghadapi pihak Sekutu, termasuk perundingan dengan Belanda dan masalah-masalah lain. Setiap kali kabinet koalisi berubah. Sampai Aksi Militer pada tanggal 19 Desember 1948 saat Presiden, Wakil Presiden serta beberapa menteri ditangkap, ada delapan kabinet.[3]
            Kedaulatan negara Indonesia baru diakui oleh dunia luar pada bulan Desember 1949, terutama sesudah berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara pada bulan Agustus 1950. Pola kabinet koalisi berjalan teru. Semua koalisi terdiri dari dua partai besar, yaitu Masjumi dan PNI. Kabinet pertama dan kedua dibawah Undang-Undang Dasar 1950 dipimpin oleh Masjumi, yaitu Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, sedangkan kabinet ketiga dan keempat dipimpin oleh PNI, yaitu Kabinet Wilopo dan Kabinet Ali Sastroamidjojo. Di antara kabinet itu, ada yang hanya berjalan tujuh setengah bulan, yaitu Kabinet Natsir (September 1950-April1951), sedangkan yang paling lama (sampai pemilihan umum 1955) adalah kabinet yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo selama dua tahun (Agustus 1953-Agustus 1955). Akhirnya, kabinet yang dipimpin oleh Burhanudin Harahap dari Masjumi berhasil menyelenggarakan pemilihan umum pertama pada tahun 1955.
            Pemilihan umum 1955 yang diselenggarakan dengan 100 tanda gambar menunjukan bahwa jumlah partai semakin bertambah, dari 21 partai (ditambah wakil tak berfraksi) sebelum pemilu menjadi 28 (termasuk perseorangan). Hasil pemilihan menetapkan beberapa partai saja yang memperoleh suara mayoritas, yaitu PNI (39 kursi), yang bersama-sama menduduki 77% dari jumlah kursi dalam DPR. Partai-partai lainnya masing-masing memperoleh satu sampai delapan kursi.
             Kabinet pertamahasil pemilihan umum merupakan koalisi dari dua partai besar, PNI dan Masjumi, beserta beberapa partai kecil lainnya, dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (II) dari PNI. PKI tetap diluar kabinet. Kabinet Ali Sastroamidjojo hanya bertahan selama dua belas bulan (Maret 1956-April 1957).
            Setelah kabinet Ali Sastoamidjojo berakhir, Kabinet Djuanda menggantikan posisinya. Kabinet ini bukan berasaln dari partai, artinya dari nonpartai. Kabinet Djuanda disebut dengan Zaken Kabinet Ekstra-Parlementer atau Kabinet Kerja yang bertahan selama dua tahun tiga bulan (25 April 1957-Juli 1959).
            Demikian seterusnya, keadaan negara semakin kacau, meskipun berkali-kali terjadi pergantian kabinet. Pemilu yang paling demokratis pun tetap tidak mampu mewujudkan negara yang adil dan makmur. Soekarno sebagai Presiden mengisyaratkan perlunya kembali kepada UUD 1945 untuk membangkitkan kesadaran politik bangsa. Hingga akhirnya terbit Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
            Tahun 1959 sampai dengan tahun 1965 dinyatakan sebagai zaman demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi terpimpin, kekuasaan negara didominasi oleh Presiden. Peran partai politik dan lembaga legislatif tidak signifikan. Negara lebih besar didominasi oleh kekuatan PKI dan Militer.
            Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara menggelindingkan konsep demokrasi terpimpin dengan membentuk lembaga-lembaga negara, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung. Dan ia pun membentuk Dewan Nasional yang anggotanya berasal dari kalangan buruh, petani, tokoh agama, militer, pengusaha, tokoh wanita. Secara keseluruhan, jumlahnya ada 40 orang. Dewan Nasional dibentuk sebagai bagian dari demokrasi terpimpin yang separuh dari suara politik diperoleh dari kalangan masyarakat.
            Dalam perjalanan sebagai Kepala Negara di masa demokrasi terpimpin, Soekarno mengeluarkan Perpres No. 7/1959. Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang menganjurkan pembentukan partai-partai dicabut dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Partai yang memenuhi syarat adalah PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Parrindo, Parkindo, Partai Murba, PSE Arudji, IPKI, Partai Islam Perti. Bagi partai yang tidak memenuhi persyaratan secara otomatis tersingkir, pada tahun 1960, partai politik jumlahnya hanya 10 partai.
            Soekarno sebagai Presiden membentuk wadah-wadah yang berfungsi memobilisasi massa, seperti dibentuknya Wadah Front Nasional pada tahun 1960, yang didalamnya ada anggota yang berasal dari Partai Komunis Indonesia, militer (ABRI), dan fungsionaris partai yang tidak mendapat jatah dalam partai yang memenuhi persyaratan. Front Nasional menggabungkan seluruh kekuatan ideologis partai politik. Oleh karena itu, disebut dengan NASAKOM, yaitu Nasionalis, Agama, dan Komunis. Kesempatan itu dimanfaatkan sepenuhnya oleh PKI untuk melakukan indoktrinasi komunismenya dan mengembangkan pengaruh-pengaruh gerakan kepartaiannya yang berbasis komunis kepada masyarakat. PKI melakukan gerakan yang tidak diduga sebelumnya oleh Soekarno, yakni Gestapu hingga tamatlah kekuatan demokrasi terpimpin.
            Partai Komunis Indonesia adalah penjahat ideologi dan pembunuh tanpa belas kasihan. Para jenderal dibantai bahkan ada yang dikubur hidup-hidup. Hingga lahirlah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret yang diterimanya dari Presiden Soekarno. Orde Baru melalui TAP MPRS No. XXV tahun 1966 membubarkan PKI dan membekukan Partindo yang telah menjalin hubungan erat dengan PKL.


I.       Hubungan HTN dengan Ilmu Negara dan Ilmu Politik
            Istilah “Ilmu Negara” diambil dari istilah bahasa Belanda Staatsleer yang berasal dari istilah bahasa Jerman, Staatslehre. Dalam bahasa Inggris disebut Theory of  State atau The General Theory of State atau Political Theory, sedangkan dalam bahasa Prancisdinamakan Theorie d’etat.
            Timbulnya istilah Ilmu Negara atau Staatsleer sebagai istilah teknis adalah akibat penyelidikan dari seorang sarjana Jerman bernama George Jellinek. Ia dikenal sebagai Bapak Ilmu Negara. Ilmu negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-penegrtian pokok tentang Negara dan Hukum Tata Negara.
            Munculnya Ilmu Negara sebagai Ilmu Pengetahuan yang berdiri sendiri adalah berkat jasa George Jellinek. Ia membagi ilmu kenegaraan menjadi dua bagian, yaitu:
1.                  Ilmu Negara dalam arti sempit ( staatwissenschaften )
2.                  Ilmu Pengetahuan Hukum ( rechtwissenschaften )
Pengertian rechtwissenchaften menurut Jellinek adalah Hukum Publik yang menyangkut soal kenegaraan, misalnya Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana dan sebagainya. Menurutnya hal penting dalam pembagian ilmu negara adalah bagian yang pertama, yaitu ilmu kenegaraan dalam arti sempit. Ilmu kenegaraan dalam arti sempit mempunyai tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
a.                   Beschreibende Staatswissenschaft
Sifat ilmu kenegaraan ini adalah deskriptif yang hanya menggambarkan dan menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berhubungan dengan negara.
b.                  Theoretische Staatswissenschaft
Ilmu kenegaraan ini mengadakan penyelidikkan lebih lanjut dari bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Beschreibende Staatwissenschaft dengan mengadakan analisi-analisis dan memisahkan mana yang mempunyai cirri-ciri yang khusus. Theoretische Staatswissenschaft mengadakan penyusunan tentang hasil dan sistematis. Inilah ilmu kenegaraan yang merupakan ilmu pengetahuan yang sebenarnya.
c.                   Praktisch Staatswissenschaft  
Ilmu pengetahuan yang tugasnya mencari upaya bagaimana hasil penyelidikan Theoritissche Staatswissenschaft dapat dilaksanakan di dalam praktik ilmu pelajaran-pelajaran yang diberikan itu semata-mata mengenai hal-hal yang berguna untuk tujuan praktik.
Negara  sebagai objek tidak hanya dikaji di dalam ilmu negara, tetapi negara juga dijadikan objek kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, negara sebagai objeknya yang menitikberatkan pada pengertian yang konkret. Artinya objek negara itu terikat pada tempat, keadaan, dan waktu tertentu.
Dalam tinjauannya, Jellinek melihat negara dari sudut sosiologis dan yuridis, namun sebagaian besar dari uraiannya berkisar dibidang yuridis. Selain itu, pendapat Jellinek dipandang kurang dinamis karena kurang mengikuti atau memperhatikan perkembangan negara sebagai salah satu bangunan masyarakat yang hidup dan saling memengaruhi dengan bangunan lainnya.
Hoerink mengatakan bahwa ilmu politik adalah semacam sosiologis dari negara. Ilmu negara dan hokum tata negara menyelidiki kerangka yuridis dari negara, sedangkan ilmu politik menyelidiki bagiannya yang ada disekitar kerangka itu. Dengan penggambaran seperti itu, Hoetink ingin menunjukkan betapa eratnya hubunngan antar ilmu negara dan ilmu politik kedua-duanya mempunyai objek penyelidikan yang sama, yaitu negara. Perbedaan nya hanya terletak pada metode yang digunakan. Ilmu negara menggunakan metode yuridis sedangkan ilmu politik menggunakan metode sosiologis.
Barents menggambarkan hubungan antara ilmu politik dan hokum tata negara dengan suatu perumpamaan bahwa hokum tata negara adalah kerangkanya, sedangkan ilmu politik merupakan daging yang ada di sekitarnya.
Perbedaan antara ilmu negara dengan ilmu politik adalah ilmu negara menitikberatkan pada sifat-sifat teoritis tentang asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang negara. Oleh karena itu, ilmu negara kurang dinamis. Sementara itu, ilmu politik lebih menitik beratkan pada factor-faktor yang konkret, terutama berpusat pada gejala-gejala kekuasaan, baik mengenai organisasi negara maupun yang memengaruhi pelaksanaan tugas-tugas negara. Oleha Karen aitu, ilmu politik lebih dinamis dan hidup.
Berkaitan dengan perbedaan antara ilmu negara dan ilmu politik, Herman Heller menyimpulkan pembagian pendapat, yaitu sebagai berikut.
1.               Ada sarjana yang mengganggap ilmu politik sebagai bahas keadaan dalam kenyataan, sedangkan ilmu negara dinamakan ilmu pengetahuan teoretis yang sangat mementingkan segi normative.
2.               Ada segolongan sarjana yang mengganggap bahwa ilmu politik mementingkan sifat-sifat dinamis dari negara, yaitu proses-proses kegiatan  dan aktivitas negara. Perubahan negara yang terus-menerus yang disebabkan oleh golongan-golongan yang memperjuangkan kekuasaan. Subjek ilmu politik ialah gerakan-gerakan dan kekuatan-kekuatan dibelakang evolusi yang terus-menerus. Sebalinya, ilmu negara dianggap lebih mementingkan segi-segi statis dari negara, seolah-olah negara adalah beku dan membatasi diri pada penelitian lembaga kenegaraan yang resmi.
3.               Ilmu negara dianggap lebih tajam konsep-konsep nya dan lebih tentang metodologinya, tetapi ilmu politik dianggap lebih konkret dan lebih mendekati realita.
4.               Perbedaan yang praktis ialah ilmu negara lebih mendapat perhatian dari ahli hukum, sedangkan ahli-ahli sejarah dan sosiologi lebih tertatik kepada ilmu politik.
Ilmu negara yang merupakan ilmu pengetahuan yanag menyelidiki pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis yang bersifat umum untuk hukum tata negara. Oleh karena itu, hukum tata negara tidak dapat dipelajari secara ilmiah dan teratur sebelum terlebih dahulu dipelajari pengetahuaan tentang pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok pada negara umumnya.
Maka ilmu negara dapat memberikan dasar-dasar teoretis untuk hukum tata negara yang positif. Hukum tata negara merupakan penerapan atau pelerapan di dalam kenyataan-kenyataan konkret dari bahan-bahan teoretis yang dihasilkan oleh ilmu negara. Oleh karena itu , ilmu hukum tata negara mempunyai sifat praktis appliedscience yang bahan-bahan nya diselidiki, dikumpulkan dan disediakan oleh pure science ilmu negara.
J.      Kecenderungan Kajian Politik di Masa Lampau
Plato (427-347 SM) bisa di pandang sebai bapak filsafat politik dan Aristoteles sebagai bapak ilmu politik, sekurang-kurangnya di Barat. Keduanya memandang negara dari perspektif filosof yang melihat semua ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan yang utuh.
Namun, berbeda dengan Plato, Aristoteles jauh lebih memberikan dukngan atas generalisasi dan preferensi nilainya melalui fakta yang dapat di amati dengan nyata (sebagai pengganti wawasan intuisifnya Plato). Sejarah politik negara-kota Yunani menurut Aristoteles menggambarkan suatu negara yang paling stabil an yang paling banyakmemberikan fasilitas bagi individu untuk mengembangkan kemampuan rasionalnya suatu negara yang pemilikan kekayaan telah meluas dan pada hakikatnya didistribusikan secara merata. Dengan demikian Aristoteles juga telah menunjukan fakta (kestabilan politik yang sebenarnya)yang relevan dengan preferensi nilainya (khususnya mengenai pengembangan rasional individu).
Warisan zaman Romawi Kuno kepad ilmu politik yang utama adalah sumbangannya di bidang hukum, yurisprudensi, dan administrasi negara; kesemua bidang tersebutsejalan dengan Stoicisme mengenai kesamaan manusia, persaudaraan setiap orang, ketuhanan, dan keunikan nilai individu, yang bagaimanapun rendahnya, mempercaya cahaya Tuhan menjiwai seluruh semesta. Filsafat demokrasi, dengan asumsinya tentang rasionalitas, moralitas dan persamaan serta konsepnya tentang hukum alam dan hak-hak ilmiah, banyak menurun dari paham Stoic dan Cicero yang memadukan filsafat Stoic kedalam pemikiran politik Barat.
Selama abad pertengahan negara menjadi kurang penting dibanding gereja, yang bisa memaksakan kekuasaannya pada raja dan memecat para pangeran dan mengatur kebijakan umum. Filsafat politik sedikit lebih dari cabang di bawah teologi; pertentangan politik diselesaikan melalui himbauan yang berkuasa, yaitu tulisan-tulisan keagamaan, daripada pertimbangan empirikataupun praktis. Bagaimanapun, abad pertengahan meninggalkan warisan konsep-konsep yang tetap merupakan bagian penting dari pemikiran politik modern, seperti gagasan penyatuan dunia dan lembaga etika keagamaan yang membatasi tindakan politik, termasuk apa yang biasa disebut oleh filosof Kristen dengan ‘’kedamaian Tuhan”, “upah kejujuran”, “harga yang pantas”, dan gagasan mengenai “hukum tertinggi” yang perlu ditaati oleh penguasa atau negara. Dalam kenyataannya, setiap warga negara manapun saat ini yang menuntut hak untuk membatasi wewenang pemerintah, apakah melalui campur tangan militer, demonstrasi damai atau dengan kekerasan, membayar pajak, ataupun pengorbanan harta benda, secara tidak langsung penolakannya menunjukan satu gagasan hukum yang lebih tinggi.
Di bawah dominasi intelektualdan politik gereja Kristen, pemikiran politik pertama-tama berurusan dan untuk menjawab persoalan mengenai yang seharusnya (nilai), bukannya pertanyaan tentang yang ada (fakta). Dengan demikian pemikiran politik sepanjang abad pertenganhan jauh lebih dekatdengan tradisi Plato (filsafat) daripada dengan tradisi Aristoteles (ilmu). Apakah ini hanya kebetulan belaka bahwa gereja Kristen sendiri mempunyai beberapa kemiripan engan negara idealnya Plato seorang raja filsafat (paus) yang merupakan penjelmaan dari kebenaran mutlak (Tuhan menyatakan hukum), dan yang memimpin atas suatu hirarki kaku yang terdiri dari para wali (pendeta) yang hidup tanpa keluarga dan pemilikan pribadi, dan mereka inilah yang bergiliran mengawasi aktivitas kelas pekerja/buruh (pekerja tangan yang ahli/tukang dan orang awam)? Jelasnya preferensi nilai dari Plato dan gereja telah menempatkan masing-masing individu di bawah kebenaran mutlak. Jadi bentuk pemerintahan yang disiplin baik oleh Plato maupun gereja adalah pemerintahan otoriter. Dan pemerintahan otoriter, apakah religius atau sekuler, sering di cap sebagai berkhianat kepada semangat kebebasan untuk meminta penjelasan yang melengkapi penyelidikan ilmiah.
K.    Kecenderungan Modern
Renaissance membangkitkan kembali minat untuk mempelajari masa Yunani kuno dan Romawi, termasuk mempelajari karya filosof politik bersama. Kemunculan negara-negra nasionaldi Eropa Barat menggoyahkan belenggu kekuasaan paus dan kekaisaran Suci Romawi, dan khususnya ketika terjadi reformasi mengakibatkan berdirinya gereja-gereja nasional yang bergantung pada raja-raja yang kuat untuk kelangsungan hidupnya, hegemoni gereja abad pertengahan telah digulingkan dan suatu keseimbangan baru di bangun di antara wewenang sekuler dan spiritual. Niccolo Machiavelli (1496-1527), yang namanya secara tidak adildisamakan dengan watak bermuka dua yang kejam, menghabiskan abad pertengahan dengan memisahkan politik dari agama. Pertimbangan mengenai kesatuan nasional, keamanan dan kepentingan lebih tinggi dari pertimbangan paus dan dogma.
Selama periode yang umumnya disebut sejarah “modern” (tepatnya dimulai pada abad kelima belas), pokok persoalan dan metode ilmu politik sangat berubah. Sebagaimana Plato dan Aristoteles telah berusaha mencari hukum-hukum politik dan kebenaran untuk disamakan dengan penemuan rekan sesamanya dibadang fisika atau astronomi maka ilmuan politik modern sangat terkesan dan di pengaruhi oleh penemuan baru dan teori di berbagai bidang pengetahuan kemanusiaan lainnya. Sebenarnya Newton dan Descartes tidak hanya menyumbang pada fisika dan matematika saja tetapi juga pada ilmu politik; di akhir abad kedelapan belas, kessikannya dengan konsep demikian seperti pemisahan kekuasaan pemerintahan dan cheks and balances, menggambarkan suatu usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip mekanika dan matematika kepada struktur pemerintahan. Sikap-sikap baru pada pemerintahan dan politik ini memperluas penggunaan metode empirik, pengamatan lembaga-lembaga dan proses-proses kehidupan manusia yang nyata agar mendapatkan dalil-dalil politik yang fundamental.
Pada pertengahan abad kesembilan belas, teori Darwin mengenai evolusi dan seleksi alami mulai mempunyai pengaruh yang sangat kuat atas ilmi politik; biologi memperkuat sejarah dan rupa-rupanya, evolusi organik. Perkembangan sosiologi, khususnya setelah abad kesembilan belas, mendorong para ilmuan politik untuk lebih perhatian kepada dampak kekuatan social di pemerintahan terhadap kekuatan social yang tidak di batasi oleh kelembagaan negara. Industrialisasi terhadap masyarakat yang sebelumnya hidup dari pertanian dan menajamnya pertentangan antara teori ekonomi klasik dan Marxis, dan antara kelas-kelas sosial baru yang dibentuk di atas landasan pembangunan industri, mendorong studi yang lebih mendalam tentang fakta ekonomi, kekuatan dan kecenderungan, karena semua itu melahirkan banyak masalah politik dan membantu terbentuknya tingkah laku politik.[4]














BAB III
PENUTUPAN
A.    Kesimpulan
Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia pasca reformasi mengalami berbagai perubahan yang sangat dinamis. Berbeda dengan dinamika ketatanegaraan pada awal kemedekaan yang terjadi karena kondisi negara yang baru merdeka dan tuntutan mempertahankan kemerdekaan, dinamika yang terjadi pasca era reformasi ini didasarkan pada kerangka konstitusional, yaitu UUD 1945. Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada 1999 hingga 2002 bersifat sangat mendasar. Perubahan tersebut memberikan dasar-dasar substansial baru dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta tatanan kelembagaan yang baru pula.
Hasil perubahan UUD 1945 menegaskan dianutnya prinsip negara hukum yang demokratis. Hal itu diwujudkan derigan jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang lebih rind, serta pembatasan kekuasaan negara melalui pemisahan kekuasaan dengan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) agar masing-masing lembaga negara dapat menjalankan kekuasaan yang telah didistribusikan oleh UUD 1945 sebagai hukum tertinggi guna mencapai tujuan nasional. Perubahan tersebut; berpengaruh secara langsung terhadap tatanan kelembagaan negara baik cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun munculnya lembaga-lembaga baru sebagai organ negara yang independen.
Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya dinamika hukum dan kebijakan, serta kelembagaan sebagai bentuk pelaksanaan UUD 1945. Dinamika itu tentu tidak hanya terjadi di bidang politik, tetapi juga di bidang kehidupan kebangsaan yang lain, baik sosial maupun ekonomi. Hal itu mengingat materi muatan UUD 1945 yang tidak hanya memberikan dasar politik, tetapi juga dasar-dasar perekonomian nasional, kesejahteraan sosial, dan kebudayaan.
Namun, perkembangan tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang demikian cepat tersebut, belum diiringi dengan ketersediaan literatur hukum yang memberikan informasi dan analisis terhadap perkembangan ketatanegaraan pasca reformasi. Bagi masyarakat, khususnya pembelajar hukum tata negara, tentu tidak mudah mempelajari masalah ketatanegaraan hanya dengan membaca ketentuan-­ketentuan normatif dalam peraturan perundang-undangan. Untuk memahami masalah ketatanegaraan dibutuhkan adanya pengetahuan dan pemahaman awal tentang berbagai konsep keilmuan serta pengetahuan tentang peraturan dan praktiknya baik di masa lalu maupun di negara lain. Oleh karena itu dibutuhkan literatur yang mengemas informasi dan memberikan analisa agar mudah dipahami.

















DAFTAR PUSTAKA

Azhari dan Inu Kencana Syafiie, Sistem Politik Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung 2012.
Basah, Sjachran. 1997. Ilmu Negara (Pengantar,metode, dan sejarah perkembangan). Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti
Budiarjo, Miriam. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi.
Ismatullah, Dedi. 2009. Hukum Tata Negara. Bandung : CV Pustaka Setia
Marijan, Kacung. 2011. Sistem Politik Indonesia. Jakarta : Predana Media Group
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013. 
Sukardja, Ahmad. 2012. Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara.
   Jakarta : Sinar Grafika.
Suwarma Al-Muchtar, (1999), Pengantar Studi HTN. Gelar Pustaka Mandiri. Bandung
Syamsuddin, Nazaruddin, Padmo Wahjono. Pengantar Ilmu Politik.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Usep Ranawidjaya .1983.Hukum Tata Negara RI. Bandung: Pustaka Star
http://www.jimly.com/pemikiran/view/4



[1]Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Hal. 128
[2]Ahmad Sukardja. Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara. Hal. 144
[3]Dedi Ismatullah. Hukum Tata Negara. Hal. 300
[4] Nazaruddin Syamsuddin, Padmo Wahjono. Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) hlm. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar